“Mala! Kita sudah sampai!” seru papaku seraya membuka pintu mobil. Meskipun lega namun rasanya berat sekali untuk beringsut dari tempat duduk. Seluruh persendian kakiku terasa kaku. Letih, penat dan kantuk, semua bercampur jadi satu.
Perjalanan lewat darat dari Banda Aceh ke Geurugok yang sedianya hanya memakan waktu lima jam terpaksa harus kami tempuh selama sepuluh jam. Dalam waktu selama itu, aku tidak dapat tidur barang sekejap pun. Maklum, aku membawa serta keempat anakku, jadi kami banyak berhenti di jalan. Tambahan lagi suamiku tidak ikut. Rencananya beliau akan menyusul dua hari lagi, karena masih ada kesibukan mengajar di Banda Aceh. Jadi bebanku terasa bertambah berat karena semuanya harus diurus sendiri. Untung juga masih ada Papa, Cek Fairu -adik Papa- dan Pak Jaelani -sang supir- yang membantuku.
Dan kini, akhirnya sampai juga kami di sini, di rumah kedua orang tua Papa. Kupandangi rumah berdinding papan di hadapanku. Ah, berapa puluh tahun sudah tak tak kemari. Aku tak kuasa mengingatnya. Memoriku justru dipenuhi saat kali pertama aku menginjakkan kaki ke sini. Usiaku enam tahun saat itu. Liburan sekolah yang bertepatan dengan bulan Ramadhan kumanfaatkan untuk `jak saweu gampong`. Papa yang mengajakku. Itu adalah perjalanan terjauh bagiku yang saat itu duduk di kelas satu SD. Dari Jakarta, kami naik pesawat ke Medan . Lalu disambung naik bis selama enam jam.
Saat memasuki rumah papan itu, aku tak kuasa menahan bening di mata. Aku teringat pada seseorang yang pernah lekat di hatiku, Jaddi. Ya, Jaddi, begitulah panggilan kami para cucu kepadanya. Jaddi dalam bahasa Arab berarti `kakek`. Namun anehnya kami memanggil istrinya dengan `Minnek` padahal seharusnya `Jaddati`. Minnek adalah panggilan khas Aceh untuk `nenek`. Yah, whatever, apalah arti sebuah panggilan. Yang jelas, bayangan tentang Jaddi terus melintas-lintas di kepalaku.
Minnek sudah menunggu kami di dekat pintu. Kucium tangan Minnek dan beliau balas mencium pipiku. Ah, betapa aku merindukan wanita sepuh ini. Beliau nampak kurus. Memang sudah pembawaannya, dari dulu tidak pernah gemuk. Tapi raut wajahnya nampak bahagia. Yah, siapa yang tidak bahagia disambangi oleh anak dan cucu-cucunya.
“Minnek sehat?” tanyaku.
“Yah kayak ginilah, sehat-sehat orang tua,” jawab Minnek sambil tersenyum. Lalu kusalami juga Cek Fida, adik laki-laki Papa, Cek Mawar, istrinya serta Sumayyah, anaknya yang berusia satu tahun.
“Ayo makan dulu,” ajak Minnek. Papa dan Pak Jaelani makan duluan, baru aku dan Cek Fairu menyusul kemudian. Ada gulai bebek dan gulai ayam. Rasanya jangan ditanya. Aku sampai nambah dua kali. Halah!
Ingatanku kembali melayang pada masa puluhan tahun silam. Saat aku `jak saweu gampong` pada umur enam tahun. Ketika bis Medan-Banda Aceh berhenti di depan rumah papan ini, bertepatan dengan saat makan sahur. Jadilah, aku dan Papa ikut makan sahur bersama. Untuk pertama kalinya aku makan lidah sapi goreng. Rasanya asin dan agak keras. Maklum, sebelumnya dijemur dulu beberapa hari supaya kering dan bisa tahan lama. Lalu setelah kering, dipotong kecil-kecil dan digoreng secukupnya. Sangat praktis. Menurut Papa, ini makanan kesukaan Jaddi dan hanya ada saat bulan puasa. Apakah ini menandakan kecintaan Jaddi akan bulan Ramadan? Wallahu a’lam. Yang kuingat, sahur pertamaku itu sangat berkesan. Bukan hanya karena lidah sapi, tapi karena kami makan dalam keadaan remang-remang, hanya ditemani lampu teplok. Waktu itu, belum ada listrik di Geurugok. Dan bau obat nyamuk bakar meruap ke seantero ruangan. Anehnya, aku suka bau itu, mungkin karena suasana `kampung`nya jadi lebih terasa.
Jaddi suka mendengarkan radio, terutama siaran dari Arab Saudi. Di belakang rumah dipasang antena tinggii sekali. Maksudnya supaya mudah menangkap siaran dari luar negeri. Ketika sedang mencari gelombang bunyinya `krosok-krosok`. Kadang aku ikut cemas menanti gelombang yang pas. Bahkan nyaris putus asa. Tapi Jaddi santai saja. Dengan sabar beliau tetap memutar-mutar tombol radio. Ketika berhasil mendapatkan gelombang yang diinginkan, aku bersorak gembira.
“Akhirnya dapat juga!” pikirku girang. Terdengarlah lagu-lagu berirama padang pasir. Jaddi memang pernah kuliah di Saudi. Mungkin dengan mendengarkan irama padang pasir itu, beliau ingin bernostalgia. Lain waktu terdengar lantunan orang mengaji di radio. Suaranya merdu, menyayat hati. Diriku ikut terhanyut karenanya. Aku ingin bisa mengaji sebagus itu. Aku juga sering mendengarkan Jaddi mengaji. Tidak perlu teks, karena beliau hafal Al Quran. Iramanya cepat sekali.
Jaddi juga sering menjadi imam di mesjid dekat rumah. Aku pernah ikut sholat tarawih yang diimami oleh Jaddi. Surat-surat yang dibaca Jaddi panjang-panjang, tapi karena Jaddi membacanya dengan cepat, jadinya terasa pendek.
Jiwa pendidik melekat kuat dalam diri Jaddi. Tak heran karena beliau adalah seorang guru. Jaddi mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Geurugok yang kebetulan letaknya persis di samping rumah. Sebagai guru, Jaddi cinta kepada murid-muridnya. Terkadang beliau bernyanyi bersama mereka. Memang dalam diri Jaddi tersimpan beragam karakter. Selain disiplin dan tegas, beliau juga orang yang lembut hati, mudah jatuh kasihan terhadap mereka yang lemah, dan cinta kepada anak-anak. Itulah sebabnya mengapa beliau akrab denganku, yang waktu itu masih anak-anak.
Sosok Jaddi sebenarnya pendiam, tapi diriku betah berlama-lama berdekatan dengannya. Karena beliau tidak pernah membentakku, suka memperhatikanku dan kadang-kadang mengajakku sholat berjamaah. Aku senang sholat dengan Jaddi, karena tidak pernah lama. Tentunya beliau mengerti psikologis anak kecil yang bosan kalau sholat lama-lama.
Sebenarnya ini bukan pertemuan pertamaku dengan Jaddi. Jaddi pernah beberapa kali ke Jakarta . Rindu dengan anak cucu, sekaligus berobat. Jadi keakrabanku dengan Jaddi dimulai saat beliau di Jakarta . Seingatku, Jaddi sudah mengajakku sholat berjamaah sejak aku masih di TK. Tanpa paksaan. Tanpa tekanan. Dan aku melakukannya dengan `enjoy`, tanpa beban.
Tanpa kusadari ajakan Jaddi untuk mengajakku sholat berjamaah membekas dalam jiwaku. Aku jadi terbiasa sholat lima waktu, bahkan sedari kecil. Berpuluh tahun kemudian, barulah kupahami bahwa Jaddi telah menanamkan metode pembiasaan pada diriku, sejak masih kanak-kanak. Dengan metode ini, akan mudah bagi si anak untuk melakukan apa yang dibiasakannya. Tanpa latihan dan pengalaman yang dibiasakan, maka akan sulit bagi seorang anak untuk melaksanakan ajaran agama seperti sholat.
Pembiasaan yang diterapkan Jaddi berpuluh tahun lalu kini telah membuahkan hasil nyata. Sholat lima waktu, bagiku bukanlah suatu hal yang berat. Memang jika kita telah terbiasa mengerjakan sesuatu hal, sesuatu yang berat sekalipun tentu tidak akan terasa berat lagi. Hal ini yang sedang kucoba terapkan pada anak-anakku. Aku membiasakan anak-anakku sholat, bahkan sejak mereka balita.
“Sie itieknya enak, Minnek,” pujiku tulus. Rasanya sebelumnya aku belum pernah mencicipi gulai itik seenak ini. Minnek hanya tersipu-sipu. Beliau memang pandai memasak, berbeda dengan diriku, hiks. Wah seminggu di sini, timbanganku bisa naik nih!
Selesai makan, diriku membersihkan tubuh yang terasa lengket dan berusaha untuk sholat.. Walaupun mata terasa berat dan tubuhku pun penat luar biasa. Tapi kupaksakan juga untuk sholat karena kutahu itu merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kujamak sholat Maghrib dan sholat Isya sekaligus. Setelah itu kucoba membangunkan Faisal. Sulungku yang berumur sepuluh tahun. Dia tidur tanpa sempat sholat. Aku ingin memberi pengertian bahwa selelah apapun, sholat tetap tidak boleh ditinggalkan. Alhamdulillah Faisal mau bangun dan menjamak sholatnya.
Sungguh nyaman tidur di rumah papan. Tidak perlu kipas angin karena hawanya sudah dingin. Angin menyelusup melalui celah-celah papan. Brr! Dinginnya seperti di Puncak! Aku membungkus tubuhku rapat-rapat dengan selimut.
Rasanya aku belum lama tertidur ketika terdengar lantunan suara orang mengaji dari masjid. Aku langsung terjaga, ternyata sudah hampir Subuh. Mendengar suara orang mengaji, aku jadi begitu terhanyut karenanya. Begitu merdu, mendayu-dayu. Bayangan Jaddi kembali melintas. Tanpa terasa air mataku meleleh. Jaddi sudah lama tiada, tapi sosoknya tetap abadi dalam sanubari.
For my Jaddi, I always miss u!
Banda Aceh, Februari 2009.
Catatan kaki:
Jak saweu gampong : pulang kampung
Sie Itiek : gulai itik
Tulisan ini sudah pernah dimuat di www.eramuslim.com