Pahit Manis Bertetangga

Merupakan kebahagiaan bagi saya pernah tinggal di Kampung Melayu (istilahnya), di distrik Miyamae, Kawasaki, karena bisa mengenal dan berinteraksi dengan ibu-ibu muslimah di daerah itu. Apalagi bagi saya yang saat itu adalah pengantin baru, belum berpengalaman mengurus rumah tangga, adanya teman-teman Indonesia yang tinggal berdekatan tentu besar artinya bagi saya. Dari mereka saya belajar masak dan membuat kue, cara-cara menghadapi suami, mengurus anak, dsb. Disamping saya bisa curhat, mendapatkan keceriaan dan kegembiraan sehingga saya nggak kesepian berada jauh di negeri orang.

Di apato (apartemen) Hikari Haitsu, apato yang kami tempati waktu itu, selain keluarga Indonesia ada juga keluarga muslim dari Pakistan dan Bangladesh. Dari mereka saya beruntung bisa mengenal adat istiadat dan kebudayaan mereka. Makanan dan kue-kuenya oishii banget lho. Saya sempat belajar mutton curry ala Pakistan yang rasanya (ternyata) nggak beda jauh dengan gulai kambing ala Aceh, padahal cara masaknya beda banget. Satu kebiasaan mereka yang saya ingat sampai sekarang adalah mereka selalu menyiapkan minuman dan kue-kue tiap kali saya main ke rumahnya. Padahal saya takut memberatkan dan selalu bilang “Don’t prepare anything to me.” Tapi mereka menjawab, “No, no, everything was prepaired.” Saya juga disuruh duduk di atas futon kecil alias bantal duduk. Jadi ngerasa tersanjung gitu. Rupanya budaya memuliakan tamu sudah begitu melekat dalam kebudayaan mereka.

Dari pengalaman teman-teman lain yang pernah saya dengar, banyak manfaat yang diperoleh karena tinggal berdekatan dengan sesama muslim. Saling mengirim makanan, bisa menitip anak, bisa menitip belanjaan ke supermarket, ada temen jalan. Yah, pokoke banyak deh. Tetangga itu kan saudara kita yang paling dekat, jadi kalau ada apa-apa pasti larinya ke sana dulu. Beruntunglah kita yang punya tetangga yang baik-baik dan nggak reseh. Ada teman namanya Mbak Ulya yang merasakan punya tetangga super baik seperti Mbak Demmy. Yokatta ne (You are lucky.) Kita juga bisa mewarisi sifat-sifat baik yang ada pada tetangga, misalnya ramah, humoris, suka menolong, pintar masak, hemat, qonaah (merasa cukup dengan apa yang ada), tabah dalam menghadapi kesulitan, berwawasan luas, dsb.

Namun dunia tak selamanya indah. Kepala boleh sama hitam, tapi insan manusia punya sifat dan tabiat yang berbeda. Tinggal berdekatan dengan sesama muslim kadang malah membawa masalah. Bisa jadi karena pribadi yang bertolak belakang. Misalnya yang satu rajin ke mesjid yang lain rajin ke kafe; yang satu hobi ngerumpi yang lain kutu buku; yang satu tukang jalan yang lain hobi bersemedi. Susah ya nggak kompak, ternyata si dia (tetangga) tak seperti yang diharapkan. Belum lagi saling iri hati karena suami tetangganya lebih romantis, lebih royal karena okane mochi (have much money), lebih sering makan di luar dan ngajak jalan-jalan istri, membuat  sakit perut si tetangga. Alhasil berdekatan dengan sesama muslim bukannya membawa nikmat, malah kesengsaraan yang didapat. Bisa-bisa terjadi perang dingin, saling benci, saling hasad dan dengki. Na udzubillaahi min dzalik.

Padahal dalam hadits Nabi disebutkan bahwa :

“Hendaklah kalian menjauhi prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian melakukan tahassus dan tajassus, saling mendengki, memancing emosi, dan saling membenci. Akan tetapi jadikanlah hamba-hamba Allah yang bersaudara” (HR. Imam Bukhari).

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak mendzalimi atau mencelakakannya. Barang siapa membantu kebutuhan saudaranya sesama muslim dengan menghilangkan satu kesusahan darinya, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan di hari kiamat. Dan barangsiapa menutup aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat” (HR Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ra).

“Sesungguhnya iri dan dengki akan memakan kebaikan laksana api memakan kayu bakar”.

“Tidak dihalalkan bagi seorang muslim untuk mengucilkan saudaranya lebih dari tiga malam. Apabila keduanya berjumpa, maka yang satu berpaling sedangkan yang lainpun berpaling. Yang paling baik di antara keduanya adalah yang memberi salam terlebih dahulu. (HR Imam Muslim dari Abu Ayyub Al-Anshari).

Akan halnya dengan tetangga saya yang orang Pakistan dan Bangladesh, walaupun banyak perbedaan diantara kami, namun hal itu tidaklah menjadi masalah karena kami berusaha mencari titik temu. Kalau sedang mengobrol biasanya kami menceritakan keadaan negara masing-masing. Mungkin karena sama-sama muslim, banyak persamaan di antara kami sehingga perbedaan yang ada menjadi terabaikan.

Bertetangga juga bisa menjadi ajang silaturahmi. Dengan mengunjungi tetangga, banyak masalah yang bisa terungkap, misalnya: tetangga yang sedang kesulitan uang, anaknya yang sedang sakit, sedang stress, dll. Sehingga kedatangan kita diharapkan bisa menjadi obat pelipur lara yang sangat dibutuhkan saat itu, syukur-syukur kalau bisa membantu. Sebaliknya dengan melihat keadaan orang lain yang sedang mengalami masalah, kadangkala kita jadi lupa dengan masalah yang sedang kita hadapi.  Sebelumnya mungkin kita merasa jadi “orang termalang di dunia”. Namun setelah mendengar persoalan yang dialami orang lain, persoalan sendiri kok jadi seperti “nggak ada apa-apanya”.

Bagaimana kalau sikap tetangga kurang berkenan? Misalnya cuek, tidak peka terhadap penderitaan orang lain, merasa terganggu kalau kita datang ke rumahnya, pelit, dll. Perlu kita ingat bahwa hal tsb tidak terlepas dari latar belakang keluarganya. Misalnya: seseorang yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang pelit, kemungkinan anaknya akan pelit juga, walaupun hal ini relatif sifatnya. Tetangga yang cuek  bisa jadi disebabkan karena sebelumnya dia tinggal di kota besar yang hubungan dengan tetangga nggak begitu dekat, malah kadang-kadang kenal juga nggak dengan tetangganya. Kita harus memahami hal ini. Dengan banyak bergaul kita akan menemukan berbagai macam karakter yg berbeda. Untuk itu perlu waktu dan proses untuk memahami perbedaan karakter tsb.

Kesimpulan :

1. Setiap muslim adalah bersaudara, tetangga adalah saudara kita yang paling dekat.

2. Persaudaraan karena seagama, lebih kokoh dibandingkan persaudaraan berdasarkan ikatan  

    keturunan.

3. Kita tidak boleh bersikap iri hati dan pamer terhadap orang lain, sebaliknya kita harus

    bersikap lapang dada terhadap kebahagiaan yang diterima orang lain dan juga sensitif  

    terhadap kesulitan yg dihadapi orang lain.

Wallahu alam bissawab.

Aktif menulis sejak bergabung dengan FLP Jepang tahun 2004. Penulis merupakan staf di Politeknik Indonesia Venezuela (Poliven) yang berlokasi di Cot Suruy, Aceh Besar