Indahnya Kasih Sayang di Negeri Sakura


Tinggal di luar negeri bisa jadi merupakan impian sebagian orang. Tapi pernahkah terbayang betapa sulitnya hidup di luar negeri? Segala sesuatu haruslah dikerjakan sendiri tanpa bantuan orang lain. Tak ada orangtua, saudara ataupun pembantu tempat kita meminta tolong. Bagi mereka yang sudah terbiasa hidup mandiri, tak masalah. Namun lain ceritanya dengan mereka yang tergolong ‘anak mami’. Perlu waktu lama untuk menyesuaikan diri, beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi yang senantiasa berubah-ubah.

     Bisa dikatakan saya termasuk golongan yang kedua ini. Sewaktu mengikuti suami tugas belajar ke Jepang, bulan-bulan pertama merupakan hal yang sangat berat. Sewaktu di Indonesia, dalam banyak hal, saya terbiasa meminta bantuan orang lain. Sedangkan di luar negeri, mau tidak mau kita harus hidup mandiri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan agar bisa bertahan. 

    Untungnya, saya punya suami yang demikian pengertian. Bang Ridha, begitu saya memanggilnya, adalah orang yang sabar dan penuh pengertian. Sebagai ‘anak mami’, saya tidak cekatan dan lamban dalam mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Sehingga banyak tugas-tugas yang terbengkalai: rumah yang berantakan, atau masakan yang rasanya ‘aneh bin ajaib’. Tapi beliau menerima itu semua dengan lapang dada. Tak pernah membentak atau memarahi istrinya yang kurang trampil ini. Perlahan-lahan beliau mengajari saya menata rumah, memotong-motong daging ayam dan sapi, bahkan mengajari memasak. Di akhir pekan, kami biasa masak bareng, biasanya mie aceh. Mie aceh buatan Bang Ridha amat lezat, dan bikin ketagihan mereka yang menyantapnya. Ada seorang teman yang heran, yang pandai bikin mie aceh kok suaminya, bukan istrinya, hehe. 

       Saya juga belajar memenej waktu dengan baik, sehingga pekerjaan demi pekerjaan bisa diselesaikan. Juga bisa mengikuti kegiatan seperti kursus bahasa Jepang, pengajian dan sebagainya. Bang Ridha mewanti-wanti saya agar selalu tepat waktu jika berjanji dengan orang lain. Waktu awal-awal kedatangan, saya sering terlambat ke tempat kursus bahasa Jepang, juga jika berjanji dengan teman. Tapi lambat laun, kebiasaan ‘jam karet’ itu bisa hilang. Itu semua berkat kesabaran Bang Ridha dalam membimbing istri tercintanya ini.

       Hal lain yang saya syukuri, kami tinggal di tengah-tengah komunitas mahasiswa Indonesia. Mereka adalah teman-teman sekampus suami saya di Tokyo Institute of Technology (TIT). Sebagian besar mahasiswa pascasarjana tersebut membawa serta keluarganya ke Jepang. Para istri mahasiswa inilah yang kemudian menjadi teman senasib sepenanggungan dengan saya. Sejak pertama kali saya datang, mereka bersikap ‘welcome’ kepada saya. Mereka berusaha membantu apa saja yang sekiranya saya perlukan. Seperti memberi informasi tentang berbagai hal tentang serba-serbi hidup di Jepang. Dari mereka saya juga belajar macam-macam masakan Indonesia. Maklum saja, karena ‘anak mami’, saya hanya bisa masak menu-menu yang sederhana saja.

       Ketika saya dinyatakan positif hamil, di satu sisi hati menyambut gembira. Tapi di sisi lain, sekelumit kekhawatiran menggelayuti diri. Jauh dari orangtua, sanak saudara dan kerabat  membuat saya bertanya-tanya, mampukah diri ini menghadapi kehamilan dan juga persalinan yang demikian berat? Siapakah yang akan menolong saya menghadapi hal-hal yang berat itu? Apa-apa yang harus dilakukan, dan apa-apa yang mesti dihindari, semua itu masih merupakan misteri bagi saya.

       Bang Ridha, dalam hal ini berperan besar. Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa pascasarjana dengan segudang tugas dan setumpuk masalah, beliau berusaha membantu meringankan beban saya. Rasa iba dan sayangnya kepada istri yang sedang hamil membuatnya rela membersihkan rumah dan berbelanja sayur ke supermarket diakhir pekan.  Sungguh suatu bantuan yang tak dapat diukur dengan materi dan luar biasa nilainya.

       Walaupun sibuk, beliau juga dengan setia selalu mengantarkan saya ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan. Jarak rumah sakit Kyoodo lumayan jauh dari tempat tinggal kami yaitu sekitar dua jam perjalanan. Harus berganti-ganti kereta api dan disambung naik bis. Kendala lain yaitu saya belum menguasai  bahasa Jepang, sehingga menyulitkan saya berkomunikasi dengan dokter dan perawat. Maklum, orang Jepang waktu itu banyak yang tidak fasih berbahasa Inggris. Maka wajarlah kalau Bang Ridha tidak berani melepas saya pergi ke rumah sakit sendirian.

     Selain Bang Ridha, sobat-sobat muslimah banyak membantu saya. Ada yang meminjamkan buku seputar kehamilan dan persalinan; memberi informasi seputar ibu dan anak; juga memberi ataupun meminjamkan berbagai keperluan bayi. Perhatian dan pertolongan mereka membuat segenap kekhawatiran menjadi sirna. Hal-hal yang selama ini menjadi misteri, terkuak sudah. Lewat buku-buku yang dipinjamkan Mbak Ella Sarinanto dan Nesia Azhari, saya belajar tentang seluku-beluk kehamilan dan persalinan. Jika ada hal-hal yang membingungkan, saya berkonsultasi dengan Mbak Emmy Waris dan Mbak Ita Totok, yang pintu rumahnya terbuka 24 jam dan rela diganggu kapan saja. Mereka betul-betul merupakan teman curhat yang asyik.

       Saat mengetahui saya hamil, seorang sahabat saya, Mbak Ella Sarinanto menelepon dan bertanya,

     “Mbak Mala mau dimasakin apa? Biasanya kan orang hamil muda suka ngidam…” Walaupun saat hamil pertama tersebut saya tidak ngidam, tapi pertanyaan itu meninggalkan kesan yang mendalam di hati saya. Jika beliau memasak makanan yang istimewa atau dapat kiriman dari tanah air, pasti mengundang saya untuk sekadar mencicipi makanan tersebut. Rupanya beliau sangat mengerti kondisi ibu hamil yang suka makanan yang enak-enak, terutama yang khas Indonesia. Begitu juga dengan Mbak Emmy Waris, Mbak Ita, Mbak Dian Budi Setiawan, Nesiia Azhari dan lain-lain. Kalau ada makanan yang enak-enak tak pernah lupa kepada saya. Juga kalau mendapat kiriman bahan-bahan makanan dari Indonesia, tidak dinikmati sendiri tapi selalu dibagi-bagikan kepada sobat-sobat muslimah Indonesia lainnya.

       Saya begitu salut dan terharu pada para sobat muslimah Indonesia. Mereka mempunyai kepedulian dan empati yang tinggi terhadap lingkungannya. Jika ada ibu yang hamil, mereka datang dan membawakan makanan, biasanya makanan khas Indonesia. Begitu pun kalau ada yang ditimpa musibah, mereka datang sambil membawa bantuan ala kadarnya. Mungkin bukan jenis bantuan itu yang penting, namun kepeduliannya itu yang patut dihargai. Begitu juga kalau ada yang melahirkan. Mereka berbondong-bondong datang, ikut merayakan kegembiraan dan mendoakan ibu dan bayi yang dilahirkan. Sungguh saya betul-betul merasakan indahnya persahabatan selama saya berada di Negeri Sakura.

       Alhamdulillah bulan demi bulan terlewati, kehamilan saya berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Saya bisa melakukan kegiatan seperti biasa. Namun menginjak bulan ke-sembilan rasa galau itu datang lagi. Rasa sakit ketika melahirkan begitu menghantui pikiran saya. Seperti apa ya sakitnya? Kira-kira bisa tahan nggak ya? Usik batin saya. Syukurnya, lagi-lagi sobat-sobat muslimah menghibur saya. Lewat telepon, mereka berusaha men-support saya. Meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Membekali dengan untaian doa-doa.

      Saya merasa sangat terhibur oleh support yang diberikan oleh para sobat muslimah. Segala kegalauan dan kecemasan yang merasuki diri saya perlahan-lahan mulai sirna, berganti dengan keyakinan akan pertolongan-Nya. Memang nyata bahwa manusia adalah mahluk lemah dan  tidak berdaya. Sebaliknya Allah itu Maha Perkasa dengan segala Qudrat dan Iradat-Nya. Manakala persoalan datang menghimpit, dengan mengingat Dzat Yang Niscaya Ada, dengan merintih dan bersujud kepada-Nya, maka segala beban hidup yang ada menjadi lenyap tak berbekas. Dan pada tanggal 23 September 1998, lahirlah bayi laki-laki kami yang pertama. Subhanallah. Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata kegembiraan dan syukur yang tiada tara .

     Ada keharuan yang menyeruak di sanubari manakala mengingat itu semua. Perhatian dan kepedulian yang besar, baik dari suami maupun sohib-sohib muslimah Indonesia memberikan dampak psikologis yang besar bagi saya selama masa kehamilan. Segala kesusahan dan kegalauan dalam diri berganti dengan ketenangan dan kegembiraan.Yang berpengaruh positif pada kondisi si jabang bayi. 

     Adapun sikap tolong menolong yang dilakukan oleh muslimah Indonesia ini mencerminkan telah terbinanya ukhuwah Islamiyah sehingga segala yang sukar bisa jadi mudah. Memang ajaran Islam adalah ajaran yang sempurna dan indah. Dan nilai-nilai keindahan Islam itu akan tampak bilamana para penganutnya mengamalkan segala ajarannya.

     Dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw. bersabda :

     “Kamu akan melihat orang-orang yang beriman dalam saling menyayangi, saling mencintai, saling mengasihani, bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain ikut merasakannya juga.”

     Adapun sikap tolong menolong  ini diberi ganjaran yang besar oleh Allah Swt, seperti diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ra, Nabi Saw bersabda :

     “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak mendzalimi atau mencelakakannya. Barang siapa membantu kebutuhan saudaranya sesama muslim dengan menghilangkan satu kesusahan darinya, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan di hari kiamat. Dan barang siapa menutup aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.”

     Saya bersyukur bahwa kami tinggal di tengah-tengah komunitas Indonesia. Seandainya kami tinggal di tempat yang terpencil, jauh dari komunitas Indonesia , entah apa yang akan terjadi. Saya mungkin akan kebingungan seorang diri, tanpa teman untuk sekadar curhat, apalagi minta tolong. Memang hidup kadang seperti berjalan di hutan nan gelap. Tanpa sesuatu yang menyeramkan pun, suasana akan selalu mengkhawatirkan. Tak seorang pun akan menempuhnya sendiri jika ada pilihan bersama. Dalam hal ini, filosofi sapu lidi memang tak pernah usang. Selalu menjadi pelajaran yang berharga dari generasi ke generasi. Hikmahnya sederhana : kekuatan ada dalam kebersamaan. Dan kelemahan ada dalam kesendirian.

         Akhir kata, tiada yang dapat saya ucapkan selain rasa terima kasih yang mendalam. Pertama, kepada Allah Swt atas segala nikmat yang tak habis-habisnya. Kedua, kepada suami saya atas kesabaran dan ketegarannya. Dan ketiga, kepada kepada para mahasiswa Indonesia beserta keluarganya, atas segala perhatian dan dukungannya.  Jazakumulloohu khairan katsiiraa.

Aktif menulis sejak bergabung dengan FLP Jepang tahun 2004. Penulis merupakan staf di Politeknik Indonesia Venezuela (Poliven) yang berlokasi di Cot Suruy, Aceh Besar