Momiji, Indah di Saat Akhir

Kepulangan saya ke Indonesia sudah berbilang tahun, namun kenangan indah
selama bermukim di Negeri Sakura tak bisa lekang dari ingatan, terukir indah dan
terpatri dalam sanubari. Seperti kenangan saat menikmati suasana musim gugur
di bulan November, mempunyai arti khusus bagi diri yang senantiasa mendamba
keindahan.


Setelah musim panas yang lembab dan membakar kulit, kedatangan musim
gugur menjadi hiburan bagi jiwa-jiwa yang letih, yang merindukan kesejukan.
Di masa peralihan ini, ketika suhu semakin turun, ketika udara panas berganti
menjadi dingin, daun-daun akan berubah warna, kuning, merah dan coklat. Mereka
siap mementaskan tarian pamungkas, memamerkan pesonanya untuk terakhir kali.
Memandangi daun-daun yang berguguran ini menimbulkan sensasi tersendiri.
Saat melayang-layang ditiup angin, mereka seolah sedang mengucapkan salam
perpisahan pada dunia ini. Pada semua yang dicintai. Dan segala yang dikasihi.
Oh. Dunia sungguh tak abadi

Di lain sisi, daun-daun yang luruh ini membawa filosofi tersendiri. Ada
isyarat pengorbanan yang menyertai. Pengorbanan yang disertai pengharapan, agar
pohon induk tidak mati. Dan bisa terus berproduksi. Dia percaya, kelak, pohon
induk tersebut akan memunculkan tunas-tunas baru. Tunas-tunas muda yang akan
tumbuh dan bersemi, pada saatnya nanti

Musim gugur, yang biasa disebut dengan aki. Merupakan waktu bagi
dedaunan untuk menampilkan pesonanya untuk yang terakhir kali. Sebelum akhirnya
luruh, melayang, terhempas, dan akhirnya jatuh ke tanah. Mati.

Pada akhir musim gugur, suasana di Jepang sudah memerah penuh, sehingga
banyak yang memanfaatkan liburan Sabtu Minggu untuk melihat daun momiji. Aktivitas
ini disebut dengan `Momiji gari’. Masyarakat Jepang dengan penuh semangat,
sambil tak lupa menenteng kamera, berduyun-duyun memadati tempat-tempat wisata
yang menyajikan `kouyou’. Berusaha mencari sudut pandang yang menarik, lalu
berpose dengan gaya terbaik untuk kemudian diabadikan sebagai kenang-kenangan
musim gugur. Terkadang mereka harus rela mengantri, karena banyak turis yang
mengincar tempat yang sama.

Salah satu lokasi menarik yang menampilkan keindahan kouyou adalah Gunung
Takao. Terletak di bagian Barat distrik Tokyo, tepatnya di Takaomachi,
Hachioji-Shi. Pengunjung gunung yang tingginya 599 meter ini mencapai 2,5 juta
orang setiap tahunnya. Sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Gunung
Takao merupakan gunung yang paling popular di dunia.

Gunung Takao sangat indah ketika berselimut daun-daun aneka warna. Di
satu sudut, momiji merah menyembul dari balik bukit. Daun momiji yang dikala
musim panas berwarna hijau, saat musim gugur berubah menjadi kuning dan akhirnya
merah menyala. Sungguh cantik. Keindahan warna ini ditunjang pula dengan
bentuk daunnya yang unik. Sepintas lalu seperti jari tangan manusia yang
berkuku lentik.

Di sudut lain, terdapat pohon Ginkgo biloba. Batangnya yang hitam legam
tampak kontras dengan daun-daunnya yang kuning emas, berbentuk kipas. Berdiri
di bawah pohon ginkgo, dengan daun-daunnya yang berserakan, membuat diri ini
berkhayal menjadi seorang penyair. Yang bisa meluapkan segala rasa, dengan
menciptakan untaian puisi berjuta makna. Apa daya, diri ini hanya insan biasa,
yang hanya bisa merasa, tanpa mampu berkata-kata.

Pengunjung Gunung Takao tidak hanya anak-anak muda, tapi juga para
manula. Walau sudah berusia sepuh, mereka tetap bersemangat dan terlebih lagi,
masih kuat berjalan jauh, walau terkadang harus ditopang dengan tongkat.
Biasanya para manula ini datang secara berombongan. Mereka memandangi kouyou nan
indah sambil bergumam,

“Momiji kireeei desu nee…!”

“So desu nee…” timpal yang lainnya.

Rona bahagia berbias di wajah para manula itu.

Tiba-tiba aku melihat satu titik temu. Antara momiji yang cantik, dan manula
yang enerjik. Sejenak ingatanku melayang-layang.

Aku mengenal dengan baik beberapa manula di kawasan tempat tinggalku,
baik di Kawasaki-Shi maupun Yokohama-Shi

Yang pertama adalah guru-guru bahasa Jepangku. Mereka mengajar di
kuyakusho atau kantor kecamatan. Biasanya kuyakusho-kuyakusho menyediakan
fasilitas belajar bahasa Jepang untuk orang asing. Dan yang
mencengangkan, pengajarnya rata-rata sudah berusia lanjut. Mereka mengajar
dengan penuh kelembutan. Tak pernah ada teriakan, apalagi bentakan. Walaupun
kemajuan belajarku relatif lambat, mereka tetap telaten dan sabar dalam
mengajarku. Sungguh suatu wujud ketinggian ahlak yang patut dipuji.
Salah satunya adalah Hiromi Sensei, pengajar di Aoba Kuyakusho. Beliau
bisa berbahasa Indonesia karena belajar Sastra dan Budaya Indonesia. Hatinya
diliputi kebahagiaan saat berkumpul bersama komunitas Indonesia, sehingga beliau
kadang-kadang mengadakan pesta kecil di rumahnya untuk kami. Biasanya
masing-masing dari kami membawa satu jenis makanan sehingga tidak merepotkan
nyonya rumah. Selain nasi putih, biasanya Hiromi Sensei menyediakan makanan
utama dan makanan penutup.

Setiap kali aku melahirkan, Hiromi Sensei selalu menyempatkan diri datang
ke apartemen sederhanaku, memberi ucapan selamat atas kelahiran bayi seraya
membawa cendera mata untuk kami. Ketika kami pindah ke Saitama dan aku
melahirkan anak ke-4, Hiromi Sensei juga datang melihat bayiku. Padahal jarak
antara Yokohama dan Saitama cukup jauh, sekitar dua jam perjalanan dengan
menggunakan kereta api listrik. Aku sangat terharu karena beliau mau
bersusah-payah mengunjungiku. Pelukan hangat dan jabat tangan erat kiranya
dapatlah mewakili perasaan bahagiaku karena dikunjungi oleh beliau.
Masih ada beberapa nama lagi seperti Fukabori Sensei, Torizuka Sensei dan
lain-lain yang tidak dapat kujelaskan satu per satu. Nama mereka terpatri dan
menempati tempat khusus dalam sanubariku karena kebaikan hati dan kesantunan
mereka dalam mengajariku Bahasa Jepang.

Yang kedua, Kawabata-san. Nenek yang masih tetap cantik ini pernah
tinggal di Indonesia selama tiga tahun. Kala itu beliau mengikuti tugas
suaminya di JICA, jaman Sukarno masih berkuasa. Tak heran kalau beliau bisa
berbahasa Indonesia. Nenek yang rada tomboy ini merupakan salah satu relawan
di Miyamae Kuyakusho. Tugasnya adalah menjadi penghubung maupun penerjemah bagi
orang Indonesia yang kesulitan bahasa dan membaca kanji. Formulir di Jepang
kebanyakan menggunakan kanji dan itu menyulitkan bagi kami. Sehingga keberadaan
Kawabata-san menjadi penting artinya bagi warga Indonesia di distrik Miyamae,
khususnya ibu-ibu rumahtangga sepertiku.

Sama seperti Hiromi Sensei, Kawabata-san sangat menikmati kebersamaan
dengan orang Indonesia. Beliau juga suka masakan dan kue-kue Indonesia, karena
mengingatkannya pada saat-saat indah sewaktu tinggal di Jakarta. Kawabata-san
pernah membantuku saat aku hamil anak kedua yang kembar. Kala itu aku mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi dengan Ogishima-san, salah seorang suster di Hoken
Jo. Hoken Jo
adalah bagian kesejahteraan di kuyakusho, yang memberikan
pelayanan dan konsultasi gratis di bidang kesehatan. Dengan kehadiran Kawabata-
san, komunikasi dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan berarti.
Yang ketiga adalah para dokter dan bidan yang memeriksa dan membantu
persalinanku. Antara lain Fujishima Sensei, Tokuyama Sensei dan Takahashi-san,
sang bidan. Mereka sangat telaten dan sabar dalam memeriksa dan membimbingku.
Karena tidak bisa berbahasa Jepang, aku selalu didampingi suami ketika
memeriksakan kandungan. Aku suka cara mereka menjelaskan sesuatu, gamblang,
tidak bertele-tele. Walaupun pasiennya banyak, tapi kami dilayani dengan sebaik
mungkin. Tidak terburu-buru. Kalau ada pertanyaan, mereka berusaha menjawabnya
dengan jelas. Pelayanan mereka padaku sangat memuaskan, padahal kami adalah
orang asing, datang dari negeri asing. Tidak pernah kurasakan adanya
diskriminasi terhadap kami.

Sebelum aku bercerita tentang manula yang kempat, aku ingin menceritakan
sepenggal kisah yang mengantarkan perkenalanku dengan para manula luar biasa
ini.

Masih ketika hamil kembar. Saat itu, kami sangat membutuhkan bantuan
untuk menjaga sulung kami, Faisal yang waktu itu berusia dua tahun. Faisal
diciptakan Allah sebagai anak yang superaktif. Senangnya lari-larian dan
bermain bola. Apartemen kami yang sempit tidak memungkinkan baginya untuk
bergerak dengan bebas. Dan untuk menyalurkan energi berlebihnya, aku kerap harus
sering mengajaknya bermain di taman atau koen. Koen adalah fasilitas berupa
taman bermain yang disediakan oleh pemerintah kepada masyarakat umum. Di
dalamnya terdapat aneka permainan seperti ayunan, perosotan, bak pasir dan
banyak lagi. Faisal sangat girang bila kuajak main ke koen.

Namun ketika akuhamil kembar, dokter yang memeriksaku menyarankanku agar tidak terlalu banyak bergerak. Kehamilan kembar adalah kehamilan yang beresiko. Bayi bisa lahir prematur, bahkan bisa gugur sebelum dia matang. Mendengar hal itu aku dan
suamiku merasa sangat khawatir. Di satu pihak, aku bersyukur akan dianugerahi
bayi kembar. Tapi di sisi lain aku khawatir bayiku akan mengalami hal-hal yang
tidak diinginkan. Jadi aku berusaha menjaga kehamilan keduaku ini dengan
sebaik-baiknya. Masalahnya adalah, aku tidak bisa lagi mengajak Faisal main di
koen, karena aku tidak boleh terlalu banyak bergerak. Oleh karena itulah, aku
dan suami meminta bantuan tenaga ke Hoken Jo, untuk mengajak Faisal bermain.
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya bantuan pun datang. Sekelompok
manula yang sedang belajar Bahasa Inggris di Takatsu Kuyakusho bersedia membantu
kami. Mereka berdiskusi dan membuat jadwal piket. Setiap hari mereka
bergiliran mengajak main Faisal. Ada yang mengajak ke taman, ke perpustakaan dan
lain-lain. Bahkan kuingat ada yang mengajak ke kebun mawar di Mukogaoka Yuen,
sebuah tempat wisata. Faisal sangat gembira karena energinya bisa tersalurkan.
Aku dan suami pun merasa sangat terharu dan bahagia atas pertolongan yang tak
terduga ini. Allaahu Akbar. Terima kasih atas segala pertolongan-Mu melalui
mereka. Dan hebatnya lagi kami tidak perlu membayar sepeser pun. Para manula
itu mendapatkan uang jalan dari Takatsu Kuyakusho.

Aku kagum dengan semangat dan stamina mereka yang tinggi. Masih sanggup berjalan jauh serta naik turun tangga pula

Ada seorang nenek-nenek, tapi sayang aku lupa namanya, umurnya sudah mencapai 82
tahun dan beliau mempunyai hobi naik gunung. Subhanallah

Antara momiji dan manula, punya banyak kesamaan. Diusia senjanya, mereka
masih saja menawan dan memesona. Masih saja menunjukkan keindahan dan
ketinggian ahlak. Tak mau berpangku tangan, namun berusaha memberikan manfaat.
Mempersembahkan tarian terakhir, tarian terbaik. Sebelum ajal menjemput.
Sebelum buku ditutup. Wallahu alam bissawab

Catatan kaki:

Shi: wilayah kabupaten.

Kawasaki-Shi: kabupaten Kawasaki

Ku: distrik. (lebih besar dari kecamatan).

Miyamae-Ku: distrik Miyamae

Kuyakusho: kantor distrik

Kouyou: daun yang berubah warna, memerah atau menguning
Momiji gari: melihat-lihat daun momiji. Momiji gari ini mirip dengan tradisi
`Hanami‘ pada musim semi. Kalau pada musim semi mereka melihat berkembangnya
bunga sakura, maka pada musim gugur mereka menyaksikan `kouyou’. Kata `gari’
dalam momiji gari berarti berburu binatang. Yang kemudian dalam perkembangannya
digunakan dalam banyak hal, termasuk melihat buah-buahan, misalnya `Ringo gari’
yang artinya melihat-lihat buah apel.


Sensei: orang yang ahli di bidangnya. Bisa berarti guru, dosen, dokter, dan lain-lain.

Fotografi: Bunda Nur

Aktif menulis sejak bergabung dengan FLP Jepang tahun 2004. Penulis merupakan staf di Politeknik Indonesia Venezuela (Poliven) yang berlokasi di Cot Suruy, Aceh Besar