Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar.
Aku sedang celingak-celinguk di depan pintu masuk “Kedatangan” Bandara SIM. Hari ini Mama, Papa, Sari (adikku), Faisal (anakku) dan Mazaya (keponakanku) tiba di Banda Aceh. Namun tak satu pun dari mereka yang menampakkan batang hidungnya. Setelah lama menunggu akhirnya datanglah rombongan penumpang Batik Air. Kuperhatikan mereka satu per satu. Tak lama kulihat seorang bapak-bapak, memakai topi dan jaket hitam. Wah, itu Papa! Lalu Papa berbicara dengan seorang pemuda berambut gondrong. Aku hanya melihatnya dari belakang, tak nampak mukanya. Pemuda itu berjalan cepat ke arah utara. Beberapa saat kemudian dia berbalik lagi ke arah selatan. Sambil berjalan dia melihat ke arah pintu masuk. Hey, ternyata itu Faisal! Dia melihat ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumnya dengan getir. Akibat rambutnya yang gondrong, wajahnya sedikit berubah. Aku pangling melihatnya. Faisal kok jadi beda ya mukanya?
Ya, baru kali ini Faisal berambut gondrong. Sejak kecil sampai SMA, dia selalu berambut cepak. Tapi menurutku, dengan gondrong begini, dia jadi tambah manis, dan tambah mirip dengan almarhum ayahnya. Melihat Faisal, aku seolah-olah melihat Pak Ridha sewaktu muda, dengan rambut hitam dan agak bergelombang. Pertanyaannya adalah,”Kenapa rambutnya dipanjangin?” Dan ternyata alasannya adalah karena Faisal tergabung dalam Pusat Kebudayaan Aceh di Bandung. Jadi tugas mereka adalah memperkenalkan budaya Aceh seperti tarian, nyanyian, dsb kepada masyarakat. Faisal ikut dalam tari Saman, dan kerap mentas di acara-acara. Sebagai penari Saman dengan gerakan yang dinamis, akan lebih mengasyikkan kalau rambutnya itu goyang-goyang waktu nari. Ada polem alias poni lempar gitu. Dan semua temannya penari Saman juga berambot gondrong.
Dan ternyata aku bukanlah satu-satunya yang melongo melihat penampilan baru Faisal. Ibu Doktor Dzarnisa Araby atau Kak Adek juga pangling seperti diriku. Mereka bertemu di depan Mushola Al-Muhajirin, mushola di komplek kami. Bakda sholat maghrib, Faisal sedang berjalan bersama Pak Hendi (sekarang sudah alm), salah seorang tetangga kami. Ketika bertemu dengan Kak Adek, Faisal menyapa,”Bu,” sambil mengangguk hormat. Kak Adek membalas,”Iya,” tanpa berbasa-basi lebih lanjut. Hal ini agak aneh. Kak Adek biasanya sangat ramah dan perhatian terhadap anak-anakku. Biasa menanyakan kabar atau mengajak ngobrol kalau ketemu. Jadi jawaban singkat “Iya” itu nggak biasa-biasanya. Selepas Isya Kak Adek meneleponku. Dengan suara riang dan bersemangat ’45, beliau menceritakan pertemuannya dengan Faisal. Dan ternyata Kak Adek tidak mengenal Faisal. Tepatnya, nggak ngeh kalau itu Faisal. Setelah Faisal dan Pak Hendi berlalu, barulah Kak Adek mikir,”Eh, itu kok kayak Faisal ya?” Oalah. Kami pun tertawa bersama. “Iya, memang banyak yang nggak kenal karena dia gondrong Kak, termasuk Mala,” aku menetralisir keadaan. “Waktu ketemu di bandara juga Mala nggak kenal ama Faisal, Kak.”
Fadhil dan Fadhli, adik kembar Faisal pun juga nggak ngenalin abangnya. Sewaktu kami menjemput mereka di asrama SMA Modal Bangsa di Cot Suruy, Blang Bintang, Aceh Besar, Fadhil dan Fadhli sempet bengong dan terperangah ngeliat Faisal Aku sampe sakit perut nahan ketawa ngeliat mereka. Ternyata seru juga melihat mereka yang heran, melongo, terkesima melihat penampilan baru Faisal.