KLCC. Beberapa hari ini, kosa kata itu begitu sering berseliweran di telingaku. Para mahasiswa Aceh yang tengah menuntut ilmu di Malaysia yang menggaungkannya. Dan di akhir pekan ini, akhirnya kami mendapat kesempatan untuk menyambanginya. Bertolak dari stesyen atau stasiun UKM di Sungai Tangkas, kami berangkat dengan penuh semangat menggunakan KTM Komuter. Kereta api penuh sesak sehingga kami tidak mendapatkan kursi. Terpaksa berdiri seraya berharap semoga di stesyen berikutnya akan ada yang turun. Di stesyen berikutnya –Serdang- penumpang banyak yang turun. Aku bersorak kegirangan karena berhasil mendapatkan kursi kosong.
Tapi, lho, kok semua penumpang turun? Ternyata ada perbaikan rel di Serdang sehingga kami dioper ke kereta api sebelah. Huuu, penonton eh penumpang kecewa. Baru beberapa detik menikmati empuknya kursi, eeh terpaksa kenikmatan itu harus dilepaskan. Di kereta api yang baru ini, penumpang justru lebih banyak. Terpaksalah aku “nyempil” di tengah penumpang yang berjubel. Duh, mirip banget ama kereta api Jabodetabek pas peak hours gitu deh. Boro-boro ngarepin tempat duduk, bisa berdiri dengan sempurna aja udah syukur. Tadinya hidungku hampir nempel ke pintu, tapi perlahan-lahan aku beringsut ke tengah.
Sebelum masuk, aku sempat ragu apakah masih tersisa cukup tempat buat kami. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus masuk, karena perjalanan kami masih panjang. Twin Tower yang terkenal, dan juga Pasar Seni menjadi tujuan kami. Kalau kami menunggu kereta api yang berikutnya, dikhawatirkan akan kemalaman nantinya. Kereta api dipenuhi oleh suara tangis anak-anak yang bosan dan pegal karena berdiri lama. Tapi herannya para manusia yang berbudi itu tidak ada seorang pun yang sudi memberikan tempat duduknya pada anak-anak itu. Akhirnya karena kecapaian, mereka duduk di lantai. Begitu lebih baik, kurasa. Jangankan anak-anak, aku sendiri betul-betul bosan dan ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tapi hal itu tak mungkin kulakukan mengingat harkat dan martabatku yang akan turun. Bisa rusak nama Indonesia kalau seorang wanita Indonesia mengamuk di kereta api gara-gara kereta apinya nggak berangkat-berangkat.
Sementara suamiku sibuk mengecek pesan-pesan di hape, aku bingung mau ngapain. Bisa aja sih BB-an atau Facebook-an, tapi aku nggak napsu dalam suasana kayak begini. Terpaksalah aku mencoba menikmati pemandangan di luar. Selain apartemen, mesjid, kuil, ada juga sekolah-sekolah. Yah, nggak beda jauh ama Indonesialah. Syukurlah, perjalanan tidak terlalu lama, akhirnya kami sampai di KL Central. Di sini kami isi perut dulu. Aku dan suami pilih sup krim plus roti. Sementara teman-teman kami memilih nasi beriyani plus ayam.
Habis makan, jalan lagi.
“Di sini kita tukar dengan LRT Putra, atau Kelana Jaya ” ujar Pak Jamal.
“LRT kepanjangannya apa, Pak?” tanyaku lugu.
“Light Rail Transit System,” jawab Pak Jamal. Aku mengangguk-angguk seraya berdecak penuh kekaguman. Hebat Malaysia. Waktu aku SD dulu, Indonesia dan Malaysia masih sejajar, teman sepermainan. Tapi sekarang nampaknya dia melesat, meninggalkan kita jauh di belakang. Ngomong-ngomong, LRT Putra ini lebih keren daripada KTM Komuter, kesannya lebih Millenia. Pemandangan di luar pun lebih oke punya. Ada Mesjid Jamek, Mesjid Agung, Pasar Seni, juga gedung-gedung pencakar langit dengan suasana kota. Abdul Samad Building yang menjadi icon Kulala Lumpur juga kelihatan dari kereta api. Kali ini, aku lebih agresif mencari tempat duduk. Setiap berhenti di stesyen, mataku langsung jelalatan nyari-nyari orang yang bangkit dari tempat duduk karena mau turun. Dan akhirnya aku berhasil, Sodara-sodara. Dengan penuh kebanggaan aku duduk di kursi empuk. Sementara suamiku dan teman-teman kami belum beruntung. Aku melihat ke sekelilingku. Di bangku kami kebetulan cewek-cewek semua. Tiba-tiba aku terpaku pada gambar sesuatu, dan tulisan yang terpampang di bawahnya.
“Kita prihatin terhadap Mereka, Mereka memerlukan tempat duduk lebih daripada Anda.”
Mereka? Siapa Mereka itu?
Ya Allah, ternyata ini “Silver Seat”. Aku sih diem-diem aja. Soalnya cewek-cewek di sebelahku itu masih muda-muda dan kayaknya lagi nggak hamil deh. Dan nggak membawa anak kecil juga. Perasaanku sih mereka juga bukan orang-orang yang berhak duduk di situ. Tapi akhirnya suamiku tahu.
“Mama duduknya di Silver Seat.” Waduh. Aku pura-pura nggak dengar aja.
“Mama, di antara yang empat itu, Mama termasuk yang mana?” suamiku menggoda. Ada empat kategori, mereka yang membawa anak kecil, wanita hamil, orang tua dan orang kurang upaya (orang cacat).
“Itu, yang nomor dua,” aku menunjuk gambar orang yang sedang hamil, soalnya perutku memang gendut. Hihihi. Dan akhirnya, sampailah kami di stesyen tujuan kami: KLCC. Segera disambut oleh harumnya Roti Boy, dan juga toko-toko eksklusif yang menjual barang-barang branded. Mewah sekalee.
“Ayah, mau ke tandas dulu ya.” Setengah berlari ke arah tandas atau toilet, langsung tertegun membaca pengumuman di muka toilet. Bayar dua ringgit. Ya ampun, kok pake bayar segala sih. Maklumlah, ini kan tempat elit. Barang-barang yang dijual di sini aja bermerek semua. Branded gitu loh. Tapi masalahnya, aku nggak bawa dompet. Tas kutitipkan pada suami. Terpaksa balik lagi, meminta uang dua ringgit pada suami. Setelah memberikan dua lembar uang kertas satu ringgit, petugas memberikan tisu kepadaku. Ooh, dapet tisu? Lumayan, ada penghargaan, udah mahal-mahal bayar dua ringgit. Kupandangi tisu bertuliskan Suria KLCC dan kumasukkan dalam tas. Lumayanlah bisa jadi sovenir. Lho, sovenir kok tisu toilet sih? Yah, maksudnya sovenir buat diri sendiri, gitu loh, bukan buat orang lain. Aku segera menghambur dan berbaur dengan rombongan. Lalu kami mencari jalan untuk keluar dari mal mewah ini ke arah belakang.
Keluar dari mall Suria KLCC, di hadapanku terbentang kolam berwarna hijau tua. Sejenak aku terperangah. Indah, benar-benar indah. Tanpa membuang masa kuabadikan memakai Blackberry setiaku. Tak cukup sekali, tapi berkali-kali. Dari berbagai sudut. Kolam yang asri dan damai dilatarbelakangi belantara beton. Hm, perpaduan yang sempurna. Pikiranku menerawang jauh, ke Negeri Sakura. Rikugien Garden, taman cantik di Tokyo, mirip dengan taman KLCC ini. Bedanya, di tengah Rikugien, ada pulau kecil, jembatan melengkung, bunga azalea aneka warna, dan ikan koi yang gemuk-gemuk. Tapi eniwey, begini aja juga udah bagus kok. Aku terus memandangi kolam hijau itu. Begitu asri, damai. Ingin rasanya aku menceburkan diri ke sana. Tapi, apa kata dunia. Sementara teman-teman kami yang lain sudah menghilang di antara pohon-pohon palem. Kami rencana hendak ke mesjid, menunaikan sholat dzuhur dijamak dengan asar. Kulihat suamiku yang sudah berjalan duluan memotretku dengan kamera poket. Beberapa turis bule dan China di depanku juga memotret bangunan di belakangku.
“Hm, pastilah mereka memotret Suria KLCC, gedung yang tadi itu,” pikirku.
“Ah, kolam ini lebih menarik. Kalau foto mall sih nanti aja. Kan udah sering liat mall di Jakarta.” Aku terus melanjutkan memotret kolam dari berbagai sudut. Tapi, sepertinya ada yang kurang. Hey, dari tadi aku belum dipotret. Aku hanya memotret pemandangan saja, tanpa diriku.
“Ayah, fotoin dong,” seruku sok manja. Aku melepas jaket hitamku yang kupakai sejak dari Sungai Tangkas. Nggak keren ah, di negeri tropis kok pakai jaket segala. Kalau di Jepang sih bolehlah, kan negeri salju. Suamiku memotretku dengan latar belakang kolam. Mataku menyipit karena silau.
“Ayah, silau,” keluhku. Lalu aku mendongak ke atas. Hah, apa itu? Pupil mataku membelalak lebar. Sesuatu yang besar, nampak seperti raksasa, tengah berdiri di hadapanku.
“I…i…i…itu…,” aku tak sanggup meneruskan perkataanku, saking syoknya. Itulah Twin Tower atau Menara Petronas yang menjadi tujuan kami sedari tadi. Ya ampun, ternyata turis-turis itu motoin Twin Tower toh, kirain motoin Suria KLCC.
“Ayah, menaranya besar banget,” desisku perlahan, masih belum bisa menghilangkan syok yang terjadi.
“Lho, emangnya nggak baca?” tanya suamiku santai. Beliau nampaknya tidak memahami keterkejutanku. “Ayah…Ayah…” aku tidak bisa meneruskan perkataanku karena sudah keburu pingsan.
KLCC. Beberapa hari ini, kosa kata itu begitu sering berseliweran di telingaku. Para mahasiswa Aceh yang tengah menuntut ilmu di Malaysia yang menggaungkannya. Dan di akhir pekan ini, akhirnya kami mendapat kesempatan untuk menyambanginya. Bertolak dari stesyen atau stasiun UKM di Sungai Tangkas, kami berangkat dengan penuh semangat menggunakan KTM Komuter. Kereta api penuh sesak sehingga kami tidak mendapatkan kursi. Terpaksa berdiri seraya berharap semoga di stesyen berikutnya akan ada yang turun. Di stesyen berikutnya –Serdang- penumpang banyak yang turun. Aku bersorak kegirangan karena berhasil mendapatkan kursi kosong.
Tapi, lho, kok semua penumpang turun? Ternyata ada perbaikan rel di Serdang sehingga kami dioper ke kereta api sebelah. Huuu, penonton eh penumpang kecewa. Baru beberapa detik menikmati empuknya kursi, eeh terpaksa kenikmatan itu harus dilepaskan. Di kereta api yang baru ini, penumpang justru lebih banyak. Terpaksalah aku “nyempil” di tengah penumpang yang berjubel. Duh, mirip banget ama kereta api Jabodetabek pas peak hours gitu deh. Boro-boro ngarepin tempat duduk, bisa berdiri dengan sempurna aja udah syukur. Tadinya hidungku hampir nempel ke pintu, tapi perlahan-lahan aku beringsut ke tengah.
Sebelum masuk, aku sempat ragu apakah masih tersisa cukup tempat buat kami. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus masuk, karena perjalanan kami masih panjang. Twin Tower yang terkenal, dan juga Pasar Seni menjadi tujuan kami. Kalau kami menunggu kereta api yang berikutnya, dikhawatirkan akan kemalaman nantinya. Kereta api dipenuhi oleh suara tangis anak-anak yang bosan dan pegal karena berdiri lama. Tapi herannya para manusia yang berbudi itu tidak ada seorang pun yang sudi memberikan tempat duduknya pada anak-anak itu. Akhirnya karena kecapaian, mereka duduk di lantai. Begitu lebih baik, kurasa. Jangankan anak-anak, aku sendiri betul-betul bosan dan ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tapi hal itu tak mungkin kulakukan mengingat harkat dan martabatku yang akan turun. Bisa rusak nama Indonesia kalau seorang wanita Indonesia mengamuk di kereta api gara-gara kereta apinya nggak berangkat-berangkat.
Sementara suamiku sibuk mengecek pesan-pesan di hape, aku bingung mau ngapain. Bisa aja sih BB-an atau Facebook-an, tapi aku nggak napsu dalam suasana kayak begini. Terpaksalah aku mencoba menikmati pemandangan di luar. Selain apartemen, mesjid, kuil, ada juga sekolah-sekolah. Yah, nggak beda jauh ama Indonesialah. Syukurlah, perjalanan tidak terlalu lama, akhirnya kami sampai di KL Central. Di sini kami isi perut dulu. Aku dan suami pilih sup krim plus roti. Sementara teman-teman kami memilih nasi beriyani plus ayam.
Habis makan, jalan lagi.
“Di sini kita tukar dengan LRT Putra, atau Kelana Jaya ” ujar Pak Jamal.
“LRT kepanjangannya apa, Pak?” tanyaku lugu.
“Light Rail Transit System,” jawab Pak Jamal. Aku mengangguk-angguk seraya berdecak penuh kekaguman. Hebat Malaysia. Waktu aku SD dulu, Indonesia dan Malaysia masih sejajar, teman sepermainan. Tapi sekarang nampaknya dia melesat, meninggalkan kita jauh di belakang. Ngomong-ngomong, LRT Putra ini lebih keren daripada KTM Komuter, kesannya lebih Millenia. Pemandangan di luar pun lebih oke punya. Ada Mesjid Jamek, Mesjid Agung, Pasar Seni, juga gedung-gedung pencakar langit dengan suasana kota. Abdul Samad Building yang menjadi icon Kulala Lumpur juga kelihatan dari kereta api. Kali ini, aku lebih agresif mencari tempat duduk. Setiap berhenti di stesyen, mataku langsung jelalatan nyari-nyari orang yang bangkit dari tempat duduk karena mau turun. Dan akhirnya aku berhasil, Sodara-sodara. Dengan penuh kebanggaan aku duduk di kursi empuk. Sementara suamiku dan teman-teman kami belum beruntung. Aku melihat ke sekelilingku. Di bangku kami kebetulan cewek-cewek semua. Tiba-tiba aku terpaku pada gambar sesuatu, dan tulisan yang terpampang di bawahnya.
“Kita prihatin terhadap Mereka, Mereka memerlukan tempat duduk lebih daripada Anda.”
Ya Allah, ternyata ini “Silver Seat”. Aku sih diem-diem aja. Soalnya cewek-cewek di sebelahku itu masih muda-muda dan kayaknya lagi gak hamil deh. Dan nggak membawa anak kecil juga. Perasaanku sih mereka juga bukan orang-orang yang berhak duduk di situ. Tapi akhirnya suamiku tahu.
“Mama duduknya di Silver Seat.” Waduh. Aku pura-pura nggak dengar aja.
“Mama, di antara yang empat itu, Mama termasuk yang mana?” suamiku menggoda. Ada empat kategori, mereka yang membawa anak kecil, wanita hamil, orang tua dan orang kurang upaya (orang cacat).
“Itu, yang nomor dua,” aku menunjuk gambar orang yang sedang hamil, soalnya perutku memang gendut. Hihihi. Dan akhirnya, sampailah kami di stesyen tujuan kami: KLCC. Segera disambut oleh harumnya Roti Boy, dan juga toko-toko eksklusif yang menjual barang-barang branded. Mewah sekalee.
“Ayah, mau ke tandas dulu ya.” Setengah berlari ke arah tandas atau toilet, langsung tertegun membaca pengumuman di muka toilet. Bayar dua ringgit. Ya ampun, kok pake bayar segala sih. Maklumlah, ini kan tempat elit. Barang-barang yang dijual di sini aja bermerek semua. Branded gitu loh. Tapi masalahnya, aku nggak bawa dompet. Tas kutitipkan pada suami. Terpaksa balik lagi, meminta uang dua ringgit pada suami. Setelah memberikan dua lembar uang kertas satu ringgit, petugas memberikan tisu kepadaku. Ooh, dapet tisu? Lumayan, ada penghargaan, udah mahal-mahal bayar dua ringgit. Kupandangi tisu bertuliskan Suria KLCC dan kumasukkan dalam tas. Lumayanlah bisa jadi sovenir. Lho, sovenir kok tisu toilet sih? Yah, maksudnya sovenir buat diri sendiri, gitu loh, bukan buat orang lain. Aku segera menghambur dan berbaur dengan rombongan. Lalu kami mencari jalan untuk keluar dari mal mewah ini ke arah belakang.
Keluar dari mall Suria KLCC, di hadapanku terbentang kolam berwarna hijau tua. Sejenak aku terperangah. Indah, benar-benar indah. Tanpa membuang masa kuabadikan memakai Blackberry setiaku. Tak cukup sekali, tapi berkali-kali. Dari berbagai sudut. Kolam yang asri dan damai dilatarbelakangi belantara beton. Hm, perpaduan yang sempurna. Pikiranku menerawang jauh, ke Negeri Sakura. Rikugien Garden, taman cantik di Tokyo, mirip dengan taman KLCC ini. Bedanya, di tengah Rikugien, ada pulau kecil, jembatan melengkung, bunga azalea aneka warna, dan ikan koi yang gemuk-gemuk. Tapi eniwey, begini aja juga udah bagus kok. Aku terus memandangi kolam hijau itu. Begitu asri, damai. Ingin rasanya aku menceburkan diri ke sana. Tapi, apa kata dunia. Sementara teman-teman kami yang lain sudah menghilang di antara pohon-pohon palem. Kami rencana hendak ke mesjid, menunaikan sholat dzuhur dijamak dengan asar. Kulihat suamiku yang sudah berjalan duluan memotretku dengan kamera poket. Beberapa turis bule dan China di depanku juga memotret bangunan di belakangku.
“Hm, pastilah mereka memotret Suria KLCC, gedung yang tadi itu,” pikirku.
“Ah, kolam ini lebih menarik. Kalau foto mall sih nanti aja. Kan udah sering liat mall di Jakarta.” Aku terus melanjutkan memotret kolam dari berbagai sudut. Tapi, sepertinya ada yang kurang. Hey, dari tadi aku belum dipotret. Aku hanya memotret pemandangan saja, tanpa diriku.
“Ayah, fotoin dong,” seruku sok manja. Aku melepas jaket hitamku yang kupakai sejak dari Sungai Tangkas. Nggak keren ah, di negeri tropis kok pakai jaket segala. Kalau di Jepang sih bolehlah, kan negeri salju. Suamiku memotretku dengan latar belakang kolam. Mataku menyipit karena silau.
“Ayah, silau,” keluhku. Lalu aku mendongak ke atas. Hah, apa itu? Pupil mataku membelalak lebar. Sesuatu yang besar, nampak seperti raksasa, tengah berdiri di hadapanku.
“I…i…i…itu…,” aku tak sanggup meneruskan perkataanku, saking syoknya. Itulah Twin Tower atau Menara Petronas yang menjadi tujuan kami sedari tadi. Ya ampun, ternyata turis-turis itu motoin Twin Tower toh, kirain motoin Suria KLCC.
“Ayah, menaranya besar banget,” desisku perlahan, masih belum bisa menghilangkan syok yang terjadi.
“Lho, emangnya nggak baca?” tanya suamiku santai. Beliau nampaknya tidak memahami keterkejutanku. “Ayah…Ayah…” aku tidak bisa meneruskan perkataanku karena sudah keburu pingsan.