Bulan Januari 1998 menjadi Ramadhan pertamaku di Negeri Doremon. Banyak air mata yang tercurah kala itu. Kondisi yang amat sangat berbeda dengan keadaan di tanah air membuatku harus berlapang dada dan juga meneguhkan `azzam` maupun tekad untuk menjalani ibadah di bulan yang suci ini. Di tanah air, Ramadhan disambut dengan kemeriahan, baik di masjid maupun televisi, semuanya berlomba-lomba menyuarakan dan menyiarkan Islam ke seluruh penjuru. Namun Ramadhan di Jepang adalah Ramadhan yang hening. Tidak ada suara azan, tidak ada bedug bertalu-talu, pun tidak ada keriuhan saat membangunkan orang sahur. Tiap orang mengatur sendiri kapan waktu sholat, sahur dan buka puasa berdasarkan jadwal sholat maupun informasi dari internet.
Di Indonesia, karena muslim adalah mayoritas, puasa seolah-olah menjadi tradisi. Artinya hampir semua orang berpuasa, sehingga kita tidak merasakan hal itu sebagai sesuatu yang berat. Berbeda kondisinya dengan Jepang. Di sini muslim adalah minoritas, sehingga kita merasa sedang berpuasa sendirian. Menyakitkan memang, ketika kita harus menahan lapar dan haus di saat orang lain makan dan minum dengan “santai”.Jangan harap menemukan slogan bertuliskan, “Hormatilah orang yang sedang berpuasa.” Karena sebagian besar masyarakat Jepang memang tidak tahu kalau kita sedang berpuasa
Di Indonesia, tempat-tempat hiburan dan tempat-tempat minum ditutup saat bulan puasa, dalam rangka menghormati bulan Ramadhan yang mulia. Namun di Jepang tidak ada peraturan yang mengharuskan untuk menghentikan bisnis saat Ramadhan tiba. Tempat-tempat hiburan dan tempat-tempat minum tetap berbisnis seperti biasa sepanjang Ramadhan.
Adanya pengkondisian seperti di Indonesia, menurutku , bagi mereka yang masih lemah imannya sangat menolong. Kondisi ini mengharuskan mereka untuk berpuasa. Akan malu sekali kalau ketahuan berbuka tanpa ada sebab yang jelas, sakit misalnya. Tapi ketika mereka berada di Jepang masalahnya akan berbeda. Akan mudah sekali untuk melalaikan perintah Allah jika tidak kuat iman. Hanya diri sendiri dan Allah saja yang mengetahui apakah kita masih berpuasa atau tidak. Selebihnya, orang-orang tidak tahu dan bahkan tidak peduli seandainya seseorang itu (na`udzubillah) tergoda dan membatalkan puasa. Oleh karena itu bisa dikatakan, karena godaannya lebih berat, maka iman kita lebih diuji di Jepang daripada di Indonesia.
Aku menjalani Ramadhan pertama ini dalam kondisi masih `homesick`. Maklum, kedatanganku ke Jepang hanya berjarak sebulan dengan bulan suci. Oleh karena itu aku masih terkenang dan selalu merindukan keluarga, kerabat dan sahabat-sahabatku di tanah air, utamanya Jakarta dan Bogor. Kondisi homesick ini semakin diperparah oleh ketidakhadiran suami saat berbuka puasa. Suami saat itu adalah mahasiswa S2 di Tokyo Institut of Technology. Dan beliau sedang sibuk-sibuknya di kampus karena mengejar target, sehingga biasa pulang larut malam. Orang Jepang terkenal sebagai bangsa yang suka bekerja keras dan `gila kerja`. Hal ini berimbas pada mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di sana. Mereka harus menyesuaikan diri dengan waktu belajar yang panjang, dan target yang tinggi, kalau tidak ingin dimarahi Sensei (professor). Begitupun dengan suamiku, walaupun sudah berulangkali menjelaskan ihwal kesibukannya serta bagaimana keras dan disiplinnya Sensei, tetap saja hal itu masih merupakan hal yang berat bagiku.
Menurutku, saat berbuka puasa semestinya menjadi saat-saat yang membahagiakan karena menjadi ajang berkumpul bersama keluarga. Namun di sini, kondisi mengharuskan aku berbuka puasa sendirian, tanpa diteman sanak saudara. Terkenang bagaimana keriuhan saat berbuka puasa bersama sahabat-sahabatku di Sempur Kaler, Bogor. Mengingat itu semua, tanpa terasa air mataku menetes.
Walau berat, aku berusaha memahami hal ini sebagai kondisi yang harus kuterima sebagai istri mahasiswa yang sedang berjuang di negeri orang. Toh teman-temanku yang lain pun mengalami nasib yang sama denganku.
Namun kabar baiknya pun ada. Akhir pekan menjadi saat-saat yang membahagiakan karena suami libur dan bisa berbuka puasa denganku di rumah. Biasanya aku memasak sedikit istimewa, seperti bubur kanji, hidangan tajil khas Aceh. Juga kelepon yang lazim disebut boh rom-rom. Dan juga kuah kari yang jadi kegemaran suamiku. Karena tidak pandai memasak, aku minta kiriman resep-resep masakan Aceh dari mamaku. Sebagai pengantin baru, aku sangat ingin membahagiakan suamiku dengan masakan-masakan dari kampung halaman.Pun kuberharap bahwa lewat makananlah kerinduan akan tanah air bisa sedikit terobati.
Mengobati kerinduan akan tanah air juga bisa dilakukan dengan buka puasa bersama dengan teman-teman keluarga mahasiswa muslim Indonesia. Yang menarik, persiapan untuk buka puasa dilakukan secara gotong royong oleh para istri mahasiswa. Yang mengkoordinir waktu itu adalah mbak Emmy Waris dan mbak Ita Totok di Miyazakidai, daerah Kawasaki. Aku kebagian memasak tugas rollade daging bersama dengan mbak Dwi Anondho. Ternyata memasak secara bergotong-royong begini membawa keasyikan tersendiri. Aku yang merupakan pendatang baru jadi punya kesempatan untuk berkenalan dengan para muslimah Indonesia lainnya. Sangat menyenangkan. Setidaknya kerinduanku akan sahabat-sahabatku di Indonesia, khususnya Bogor bisa sedikit terobati.