Sore itu kami kedatangan tamu, seorang wanita dan anak batitanya. Wanita itu adalah penjual sayur keliling. Tak hanya sayur, dia kerap juga membawa pisang atau madu. Dulu aku agak heran, mengapa wanita itu jauh-jauh berjualan ke kawasan rumahku. Dia tinggal di daerah Cot Keu`eueng, yang lumayan jauh dari tempatku, dan harus naik angkot pula. Tapi alasan dia berjualan kemari menurutku tidaklah penting.
Kedatangannya ke rumahku adalah untuk silaturahmi Lebaran. Yang tentu saja kusambut dengan gembira. Yah, aku berusaha menyambut tamu-tamu yang datang dengan tangan terbuka, siapapun dia. Setelah kuberikan minum dan kue-kue, kubiarkan anaknya bermain-main dengan mainan anak-anakku. Kuberikan salah satu mobil-mobilan, dan anak itu menyambutnya dengan gembira. Dengan bersemangat dia melajukan mobil-mobilan itu, sambil mulutnya berseru,
“Ngngng…ngngng…!” Lucu sekali.
Tiba-tiba aku merasa trenyuh. Matanya begitu berbinar melihat beragam mainan milik anakku. Kupikir di rumah pasti dia tidak memiliki mainan. Atau mungkin saja ada, namun tidaklah sebagus milik kami. Karena wanita itu pernah berkata, “Saya rumah aja nggak punya, yang ada hanya rangkang.” Rangkang itu rumah yang terbuat dari kayu, katakanlah seperti gubuk. Suaminya bekerja sebagai pencari madu, namun itu pun tidak setiap saat, hanya musiman saja. Anaknya ada lima orang, yang paling besar sudah SMU.
Aku sedih melihat nasib orang-orang seperti mereka, terpinggirkan. Makan mungkin belum tentu tiga kali sehari. Lauknya pun belum tentu ikan. Mungkin hanya rebusan daun ubi, atau sambal terong. Ah, untuk makan saja susah, apalagi untuk membeli mainan. Itu pasti di luar budget mereka. Dan yang kutahu, orang-orang seperti mereka jumlahnya banyak di kotaku ini. Bantuan pastilah ada, Cuma mungkin belum merata.
Ketika hendak pulang, wanita itu meraih tasnya. Tas dari kain beledu hitam yang sudah belel. Dia mengambil sesuatu dari sana. Ternyata beberapa buah belimbing wuluh, dan beberapa lembar daun jeruk purut. Lalu diberikannya kepadaku.
Aku berusaha menunjukkan wajah bersuka cita ketika menerima pemberian itu.
“Makasih ya!” seruku.
“Ini buat masak ikan,” katanya. Mungkin dia takut aku tidak mengerti apa fungsi dari kedua benda itu.
“Iya, masam keu`eueng kan!” aku memastikan bahwa aku mengerti dan benda itu akan bermanfaat bagiku.
Untuk kedua kalinya aku merasa trenyuh. Di kota ini, kalau kita berkunjung ke rumah orang seyogianya membawa buah tangan, biasanya berupa kue-kue ataupun buah-buahan. Si wanita itu tentu tahu adat istiadat itu, tapi sayangnya mungkin dia tidak memiliki cukup uang untuk membeli kue atau buah-buahan. Sehingga dia memanfaatkan apa yang ada di kebunnya. Dan dia tidak malu dengan barang bawaannya itu. Dia tetap melangkahkan kaki dan bersilaturahmi ke tempatku walaupun dengan buah tangan yang seadanya.
Ini menjadi pelajaran yang sangat berharga buatku. Terkadang aku mengurungkan niat untuk pergi ke rumah seseorang karena belum membeli buah tangan. Padahal aku juga sebenarnya yakin bahwa orang yang akan kukunjungi itu tidak mengharapkan apa-apa dariku. Tapi sudah menjadi keharusan bagiku untuk membawa buah tangan, agar orang yang kukunjungi senang dengan kedatanganku. Sekarang aku sadar bahwa buah tangan itu tidak perlu mahal, dengan barang yang sederhana pun boleh. Yang penting adalah niat kita untuk melangkahkan kaki, menyambung silaturahmi, itu yang harus dinomorsatukan.
Ketika dia pamit pulang, aku memberikan selembar sepuluhribuan pada anaknya. Wanita itu kelihatan gembira sekali. Ya Allah, padahal hanya sepuluh ribu.
Untuk ketiga kalinya aku merasa sedih.