Tunduk dan Bertasbihnya Sang Ombak

Bahwa setiap perjalanan bukan sekadar tentang menikmati pemandangan yang menghampar di sepanjangnya saja. Tidak, tetapi segalanya hendaklah bernilai perenungan. Setidaknya merenungkan angin yang terus berhembus tanpa bosan, ombak yang setia menemani lautan, atau burung-burung laut yang tetap riang mencari ikan. Segalanya mengandung pelajaran agar jiwa ini lebih mengenal Tuhannya.

Demikian isi status jejaring sosial salah seorang adik dari Forum Lingkar Pena Aceh, Ahmad Damanhuri. Hatiku terperangah begitu membaca status itu. Teringat perjalananku ke Sabang beberapa waktu yang lalu. Aku begitu terpikat oleh keelokan alam Pulau Weh. Tepatnya di lokasi wisata pantai Iboih. Keelokan yang alami, tanpa polesan apa pun. Alun laut biru, pasir putih yang menghampar, taman laut yang memesona dan hutannya yang berbukit-bukit. Semuanya terlihat begitu harmoni dan memiliki sejuta daya pikat. Menyaksikan segala keindahan itu, hatiku berdendang riang, seraya bertasbih memuji-Nya. Dunia yang luas terbentang ini tidak akan ada tanpa kuasa-Nya. Dan di tengah laut, tatkala memandang pondok-pondok kecil di pulau, hutan yang rimbun dan menghijau serta langit biru cerah, hatiku mendadak trenyuh. Allah telah begitu bermurah hati kepada manusia. Semua diberikannya, alam yang indah, hasil bumi yang melimpah. Kurang apa lagi? Tapi manusia kadang lupa bersyukur dan tidak ingat akan pemberian Allah yang luar biasa banyaknya itu.

Dan ketika malam tiba, dalam lelap tidur, tiba-tiba kuterbangun, Suasana begitu senyap. Yang terdengar hanya debur ombak yang menghempas bebatuan karang. Begitu jelas terdengar karena pondok-pondok ini dibangun tepat di atas bibir karang. Hatiku begitu damai mendengar debur ombak itu. Riaknya pelan namun berirama. Dan dalam pendengaranku, ombak-ombak itu terdengar seperti bertasbih. Ya, bertasbih!

Allah berfirman,” Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allahlah bertasbih apa yang ada di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS An-Nur:41)

Firman-Nya yang lain.

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan dengan bertasbih memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS Al-Isra:44)

Kupejamkan mata rapat-rapat, mencoba untuk kembali tidur. Tapi lagi-lagi debur ombak itu yang terus terdengar. Kadang keras kadang pelan, namun berlangsung terus-menerus, tanpa henti. Ah, tidakkah dia bosan? Selalu berdebur, dan berdebur. Tanpa jeda, tanpa istirahat. Tidakkah sang ombak ingin beristirahat barang sejenak? Aku terpekur, kembali mendengarkan irama debur ombak yang teratur. Tiba-tiba muncul sebongkah perasaan yang jarang sekali kurasakan. Perasaan bahagia. Datang begitu saja dari dasar hatiku. Rasa bahagia yang menyebabkan mataku menjadi hangat. Selama ini hatiku lebih sering diliputi rasa galau. Trauma akan masa lalu membuatku tidak bahagia dan sering menyesali takdir. Stres berkepanjangan. Apalagi hari-hariku sebagai ibu rumahtangga yang sebagian besar kuhabiskan di rumah saja. Membuatku kerap dilanda rasa bosan yang menambah panjang derita dan kegalauan ini.

Tapi di malam ini deburan ombak seolah memperingatkanku. Bahwa alam mencerminkan ketundukan pada Allah. Tiada pembangkangan, tiada penyesalan. Mereka menuruti apa yang sesuai dengan garis takdirnya. Ombak yang berdebur tanpa henti, ikan-ikan yang berenang tanpa lelah, angin yang berdesir tanpa bosan. Mereka semua menuruti keinginan-Nya. Menerima kehendak-Nya. Aku terpana. Menerima. Di situlah letak kata kuncinya. Menerima segalanya, baik atau pun buruk. Senang atau pun susah. Segala sesuatu di dunia ini takkan terjadi tanpa izin-Nya. Dialah Sang Maha Pengatur. Sang Maha Penguasa. Sang Maha Berkehendak. Maha segala-galanya.

Aku merasa malu pada ombak, pada ikan, pada angin. Selama ini, aku belum bisa menerima takdirku. Garis nasibku. Aku selalu mengeluh dan menyesali takdir. Seolah-olah hidupku hanya berisi kesusahan belaka. Padahal kalau saja aku mau berpikir lebih jernih, banyak sekali kesenangan yang Allah berikan padaku. Suami yang jujur, setia, bertanggungjawab dan sangat mencintai keluarga. Anak-anak yang sehat, sempurna fisiknya dan cerdas di sekolah. Masya Allah tabarakallah. Serta masih banyak lagi yang lainnya. Astaghfirullooh.

Air mataku meleleh lagi. Allah tidak akan menimpakan kesusahan tanpa menghadiahkan kesenangan di tempat lain. Seperti mata uang logam yang mempunyai dua sisi, kita tidak bisa memilih salah satunya saja. Begitu pun siang yang berganti malam, panas yang berganti hujan. Semua sudah diatur berpasang-pasangan. Dan kita harus menerimanya secara utuh. Bulat. Tanpa pembangkangan.

Kita jelas tidak lebih perkasa dari alam semesta, yang tunduk pada Rabbnya. Yang bertasbih sambil bersujud pada-Nya.

“Dan tidak ada sesuatu pun ,melainkan bertasbih dengan memuji-Nya (QS Al-Isra: 44)

Seperti patuhnya api yang menghilangkan panasnya yang membakar dari tubuh Nabi Ibrahim atas perintah Rabbnya.

Seperti patuhnya matahari dan bulan yang terus beredar dalam orbitnya.

“Dan Dia menundukkan pula bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (QS. Ibrahim:33)

Kita tentu tidak lebih kuat dari kilat dan guruh. Yang tunduk bertasbih dengan memuji-Nya.

“Dialah yang memperlihatkan kilat kepadamu (yang menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung. Dan guruh bertasbih dengan memuji-Nya, dan para Malaikat takut kepada-Nya.” (QS. Ar-Ra’du).

Kita jelas tidak lebih digdaya dari gunung-gunung. Yang tunduk terpecah-belah disebabkan takut pada Allah.

“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah.” (QS. Al- Hasyr:21)

Kita tidak lebih perkasa dari langit dan bumi. Yang dengan suka hati tunduk pada-Nya.

“…lalu Dia berkata kepadanya (langit) dan kepada bumi; Datanglah kau keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab,’Kami datang dengan suka hati.’” (QS. Fush Shilat)

Kita memang tidak lebih digdaya dan perkasa. Namun kadang kita tidak menyadarinya. Dan tidak menangkap cermin-cermin itu. Seperti yang diungkapkan Abul Fida’ Muhammad Azat,

“Untuk setiap burung yang berkicau dengan tasbih Tuhan

Untuk setiap gunung yang bersujud kepada Allah Ta’ala

Untuk setiap air terjun yang tunduk dan khusyuk pada ketinggian-Nya

Untuk setiap bunga yang bergoyang-goyang di alam-Nya

Untuk setiap awan yang berjalan atas perintah Allah di langit-Nya

Mereka semua adalah saudara-saudaraku, yang sama-sama mencintai Allah

Pada sebuah masa di mana jarang sekali ada orang yang bertakwa.”

Aku ingin seperti ombak. Yang tunduk dan bertasbih kepada-Nya. Selalu.

Aktif menulis sejak bergabung dengan FLP Jepang tahun 2004. Penulis merupakan staf di Politeknik Indonesia Venezuela (Poliven) yang berlokasi di Cot Suruy, Aceh Besar