Pagi itu, aku dan Faisal, -sulungku- menonton tayangan tentang pemasungan di Trans TV. Enaknya nonton dengan Faisal, bisa sambil diskusi, jadi ada selingan, nggak bosen. Ada pun pada tayangan itu, pemasungan dilakukan terhadap mereka yang menderita kelainan jiwa. Miris, sedih, kecewa, entah apalagi perasaan yang berkecamuk di dadaku. Bagaimana tidak? Di era kemerdekaan seperti ini, ternyata masih ada segelintir orang yang belum merasakan nikmatnya kemerdekaan. Terbelenggu, terikat, nggak berdaya, nggak bisa kemana-mana. Wah nggak nyaman banget yah. Mirisnya lagi, pemasungan itu ternyata dilakukan oleh orang-orang yang terdekat dengan penderita, alias keluarganya.
Selama ini aku menganggap orang yang melakukan pemasungan adalah orang yang tidak berperasaan. Kok tega-teganya sih, menyiksa orang lain, membiarkannya terkurung dalam pasungan? Padahal itu keluarganya sendiri. Coba bayangkan kalau kita yang dipasung! Kebayang kan, nggak enaknya!
Tapi ada akibat, tentu ada sebab. Kenapa mereka dipasung? Jawabannya adalah ada waktu-waktu tertentu, dimana mereka tidak bisa dikendalikan, mengamuk, memukul, menyakiti orang. Hal-hal seperti inilah yang ditakuti oleh para orang tua dari penderita. Mereka takut jika anaknya mengamuk akan mengakibatkan kerusakan maupun kerugian pihak-pihak tertentu.
Seperti yang dikisahkan oleh seorang ibu di Aceh, bu Rajina. Anaknya, Abdullah yang berusia 35 tahun mengalami kelainan jiwa. Waktu kecil pernah mengalami kecelakaan dan sering dipukul di kepala. Dimasa remajanya, dia mengonsumsi narkoba. Dan ketika dewasa emosinya sering labil, tidak bisa ditebak, dan sering memukul orang
“Kalau bicara sayang, lebih dari sayang. Tiap hari saya memandikannya, memberi bedak. Supaya dia jangan kotor,” tutur bu Rajina sabar. Dalam tayangan tampak bu Rajina sedang memandikan anaknya dengan menggunakan waslap. Lalu menanyakan keinginan anaknya, semisal makanan atau yang lainnya.
“Tapi daripada dia pukul orang, bunuh orang, saya tidak sanggup bayar ke keluarganya. Jadi saya pasung dia,” imbuhnya lagi.
Jadi sebenarnya pasung, bukanlah jalan yang diinginkan. Tapi justru merupakan bentuk kasih sayang, agar tidak diteror oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat ulah perbuatannya yang sering mengamuk. Dan pasung, merupakan jalan keluar yang paling mudah yang bisa dilakukan.
Tayangan berganti menyoroti Siti Safura, salah seorang perawat di Rumah Sakit Jiwa di Banda Aceh. Dia sedang berkunjung ke salah seorang pasiennya, M. Nur, yang sudah berusia separuh baya. Dengan berurai air mata, Safura bertutur ihwal pemasungan,
“Ini adalah pelanggaran HAM! Dia seperti nggak punya hak apa-apa. Binatang saja ada waktu-waktunya dia dilepas, nggak dikurung seharian. Seperti lembu, kalau sore dilepas, biar dia cari makan.”
Safura juga menyatakan bahwa dia kerap dianiaya oleh pasien-pasiennya. Kadang ditendang, diludahi, dilempar. Tapi semua itu dimaafkannya. Toh mereka melakukan itu semua bukan atas dasar kemauannya, tapi dorongan emosi yang tidak dapat dihindarkan.
Kesembuhan para pasien menjadi pengobat kesedihannya. Juga pengobar semangatnya.
Safura sangat mengharapkan dukungan dari keluarga pasien.
“Perawatan yang paling baik sebenarnya adalah dari keluarga,” tutur ibu beranak dua ini.
Hendaknya keluarga mau mengerti dan menerima segala kekurangan pasien.
M. Nur tinggal dengan kakak perempuannya yang cacat. Tangannya hanya berfungsi sebelah. Bisa dimengerti bagaimana repotnya mengurus orang sakit dengan kondisi diri sendiri yang juga cacat.
Akhirnya tibalah hari dimana M. Nur dibebaskan dari pasungan. Hari itu, setelah mandi dan berpakaian rapi, dia dibawa untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Safuralah yang menjemputnya.
Dihari keberangkatan M. Nur, kakaknya mengatakan,
“Kalau bisa dia jangan pulang-pulang lagi ke sini. Karena nanti malah akan tambah parah.”
Bisa dimengerti karena umumnya pasien gangguan jiwa tidak menyukai kondisi yang berubah-ubah. Perubahan kondisi justru akan menyebabkan emosinya semakin tak keruan.
Ada satu tayangan yang menyebabkan gerimis di hatiku. Ketika M. Nur sedang makan ditemani Safura, tiba-tiba dia menyuapkan makanan ke perawatnya itu. Mau tak mau, walau agak jengah, Safura terpaksa menerima suapan dari pasiennya. Kontan saja Faisal, sang pengamat itu berkomentar,
“Dia tahu orang yang baik sama dia. Jadi dia mau membalas jasa-jasanya.”
Dan gerimis itu pun berubah menjadi hujan.