Merasa “Diorangkan”

Walaupun tinggal di negeri asing, ibu-ibu muslimah Indonesia yang tinggal di Jepang selalu berusaha meningkatkan keimanan. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan pengajian bulanan. Secara bergantian, para ibu tersebut menyediakan rumahnya untuk tempat berlangsungnya acara. Dilengkapi dengan makan siang dan kue-kue ala kadarnya.

Seperti hari itu, pengajian berlangsung di apartemen sederhana kami di daerah Miyamaedaira. Biasanya acara pengajian berlangsung meriah dan penuh gelak tawa. Jarak yang berjauhan membuat para muslimah jadi jarang bertemu. Sehingga acara pengajian menjadi ajang yang ditunggu-tunggu. Apalagi ditambah kuliner yang “asli Indonesia” membuat lidah Indonesia kami bersorak-sorai gembira.

Namun ada suasana sendu menyertai pengajian di siang yang dingin itu. Ada apakah gerangan? Ternyata kesempatan yang baik ini dimanfaatkan juga untuk melepas kepergian Mbak Ita Totok, salah seorang sahabat kami. Beliau akan pulang ke Indonesia untuk seterusnya. Terus terang, kami sangat sedih dengan kepulangannya. Karena ukhuwah Islamiyah yang sudah terjalin selama dua tahun membuat kami merasa dekat satu sama lain. Sehingga perpisahan yang terjadi meninggalkan rasa kehilangan yang mendalam.
Sebelum pulang, ada acara penyerahan kenang-kenanangan buat Mbak Ita dari ibu-ibu pengajian, diwakili oleh Mbak Emmy Waris. Setelah menyerahkan, Mbak Emmy langsung menangis tersedu-sedu, yang segera disambung oleh Mbak Ita. Bisa dikatakan, kedekatan mereka berdua sudah seperti kakak-adik, karena mereka tinggal di apartemen yang sama di daerah Miyazakidai.

Lalu Mbak Ita mengucapkan terima kasih kepada ibu-ibu yang telah menemaninya selama tinggal di Jepang. Waktu dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Cuti di luar tanggungan negara yang diambilnya tidaklah sia-sia. Banyak pengalaman yang didapat selama hidup di Jepang. Mbak Ita juga sudah mendampingi suami beliau, Pak Totok, dengan sangat baik, sehingga bisa menyelesaikan program master dan akan melanjutkan ke jenjang doktor.

Namun karena berbagai pertimbangan, Mbak Ita harus pulang ke Indonesia untuk melanjutkan pekerjaannya yang sudah ditinggal selama dua tahun. Dan terpaksa berpisah sementara dengan suaminya. Dan juga dengan kami, ibu-ibu muslimah tercinta. Keputusan yang sangat berat, kupikir. Namun, semua sudah dipikirkan masak-masak tentunya. Tinggal di Indonesia atau di Jepang, toh sama saja, semua mempunyai nilai plus dan minus masing-masing.

Sebelum pulang, Mbak Ita bersalaman dengan ibu-ibu. Juga menyampaikan permintaan maaf jika sekiranya ada kata-kata yang melukai perasaan. Suasana haru kembali menyergap. Air mata kembali menetes di pipi.

“Maafin saya ya ibu-ibu, saya banyak salah,” isak Mbak Ita sembari memeluk erat kami.

“Ya, sama-sama Mbak,” balas kami, ikut terharu-biru.

Rasanya masih tidak rela melepas kepergian Mbak Ita. Terasa sekali ukhuwah Islamiyah yang terjalin di Jepang, khususnya wilayah Kanto (Tokyo dan sekitarnya) telah mampu membuat kami para ibu merasa betah. Kehilangan seorang saja di antara kami membuat ukhuwah menjadi tidak lengkap.

Selanjutnya Mbak Ita mengucapkan perkataan yang membuatku tercenung.

“Sejujurnya, saya seneng di Jepang, saya merasa diorangkan,” imbuh mbak Ita.

Beberapa ibu tersenyum. Kata `diorangkan` terdengar agak aneh di telinga. Kenapa nggak pakek kata `manusia` aja sih? Tapi tentu saja kami sangat mengerti apa yang dimaksud oleh mbak Ita.

Di Jepang, kami merasa dihargai sebagai manusia seutuhnya. Jika berpapasan dengan Nihonjin (orang Jepang), mereka selalu mengucapkan salam “Konnichiwa”. Sambil membungkukkan badan dan tersenyum. Tak peduli siapa kita. Persis seperti yang diajarkan Islam. Berusaha ramah dan hormat kepada semua orang, tanpa memandang suku, agama dan ras.

Jika kita berbelanja ke supermarket, para pramuniaga secara bersahut-sahutan mengucapkan “Irashai mase”, walau dengan kemoceng di tangan. Setelah membayar di kasir, ucapan “Arigatou gozaimasu” pun segera menggema di seantero ruangan. Duh, gimana nggak berasa jadi Raja?

Ketika mengurus surat pun demikian. Selalu dimudahkan, tidak bertele-tele. Tak perlu uang pelicin. Tak ada diskriminasi.

Padahal kami adalah orang asing, KTP kami aja bernama “Alien Registration”. Tapi perasaan jadi Alien alias mahluk ruang angkasa itu hanya terasa di awal-awal saja. Perlakuan baik mereka, yang sangat manusiawi, berhasil menepis segala perasaan syak wasangka yang ada dalam diri. Kami dihargai sebagai manusia seutuhnya, tanpa memandang suku, agama dan ras.

Ketika melahirkan Faisal, aku ibarat pemegang kartu Askeskin. Bebas biaya rumah sakit karena beasiswa suami di bawah 200 ribu Yen. Dengan penampilan sederhana, bergamis dan tanpa make up, tak bisa bahasa Inggris, bahasa Jepang apalagi. Tapi apa yang terjadi Sodara-sodara? Para dokter, perawat dan seluruh kru rumah sakit melayaniku sebaik pelayanan kelas VIP. Subhanallah! Mereka tidak memandang siapa aku, apakah suamiku orang terpandang atau bukan, orang kaya atau bukan, apa agamaku dan dari suku bangsa mana. Tidak sama sekali, Sodara-sodara! Mereka memandangku sebagai seorang pasien yang layak ditolong. Tunggu dulu, bukan hanya layak, tapi harus ditolong dengan sebaik-baik pelayanan. Masya Allah.

Tidak pernah aku merasa dicuekin, tidak dipenuhi hak-haknya atau malah dirampas hak-haknya. Tidak pernah sama sekali. Bahkan perasaan `terzalimi`pun sama sekali tidak pernah kurasakan selama di Jepang. Sebaliknya perasaan tenang dan bahagia, itu yang menyelimuti hari-hariku di Jepang. Perasaan yang kuyakin dialami juga oleh sohib-sohibku para muslimah Indonesia, termasuk Mbak Ita.

Betapa aku sangat mengerti perasaan mbak Ita yang akan pulang ke INA.

Catatan kaki:

Konnichiwa: Selamat siang

Irashai mase: Selamat datang


Arigatou gozaimasu: Terima kasih

Aktif menulis sejak bergabung dengan FLP Jepang tahun 2004. Penulis merupakan staf di Politeknik Indonesia Venezuela (Poliven) yang berlokasi di Cot Suruy, Aceh Besar