Ketika Allah memberi anugrah seorang bayi yang lucu, tak terkira perasaan bahagia kami. Ketika bayi lucu yang kami beri nama Faisal itu sudah berusia dua tahun, dia adalah anak yang super aktif. Di rumah, dia selalu ingin memegang semua benda dan menjelajah setiap sudut. Jika aku memotong sayuran, dia ingin memegang pisaunya. Jika aku memblender bumbu, dia ingin memencet tombol blender. Pendek kata dia selalu mengganggu pekerjaanku.
Suamiku berkata bahwa aku harus memprioritaskan anakku. Pekerjaan lain bisa menunggu, sedangkan anak tidak. Namun tak mudah mengikuti saran suamiku. Aku harus memasak, kalau tidak kami mau makan apa? Aku juga harus mencuci baju kalau tidak ingin cucianku menumpuk. Jadi aku lebih memprioritaskan pekerjaan rumah tangga daripada Faisal. Tapi yah, begitulah, aku selalu diganggu oleh rengekan dan itu begitu menjengkelkanku.
Kalau sudah begitu, terpaksa aku menuruti saran suamiku. Kutinggalkan pekerjaanku, dan aku bermain dengannya. Jika dia sudah tenggelam dengan permainannya, baru secara diam-diam aku kembali ke dapur. Namun ketika Faisal sadar aku tidak ada di sampingnya, dia segera mencariku.
Kami tinggal di apato, yaitu apartemen sederhana. Di samping apato, ada juga mansion, yaitu apartemen mewah. Kulihat semua teman-teman sesama mahasiswa tinggal di apato, tidak ada yang tinggal di mansion. Maklum beasiswa pas-pasan sehingga kami harus berhemat. Namun apato kami sempit. Sedangkan Faisal yang super aktif memerlukan ruang yang lebih lapang. Dia senang melompat-lompat. Dan karena kami tinggal di lantai dua, tidak mungkin bagi Faisal menyalurkan hobinya itu. Bisa-bisa kami didamprat oleh penghuni lantai satu di bawah kami.
Suamiku menyarankan agar aku mengajak Faisal bermain di koen atau taman. Di sana dia bebas berekspresi, mau lari-lari, lompat-lompat, atau jungkir balik, terserah deh! Tidak ada yang akan terganggu oleh ulahnya itu. Faisal pun seperti menemukan surga di koen. Apalagi di sana banyak permainan. Ada ayunan, perosotan, juga tiang gantungan. Bosan main ayunan, dia pindah ke perosotan. Bosan perosotan, pindah lagi ke tiang gantungan. Ohya, di sana juga ada bak pasir.
Oleh karena itu, seharusnya aku sering membawanya ke taman, di sana banyak anak-anak Jepang sebayanya. Namun sayang, penerimaan ibu-ibu mereka tidaklah seperti yang kuharapkan. Mereka bersikap dingin. Sepertinya kami ini mahluk dari angkasa luar yang patut dijauhi. Kami tidak pernah diajak bicara, dan tidak diikutkan dalam permainan. Hatiku hancur. Anakku membutuhkan teman. Dan ada banyak teman di sini. Tapi mengapa mereka tidak mau bermain dengan anakku? Apakah karena kami tinggal di apartemen murahan, sedangkan mereka tinggal di apartemen mewah? Atau karena kami orang asing dan tidak bisa berbahasa Jepang? Atau karena kami bukan termasuk anggota grup mereka? Beribu pertanyaan memenuhi benakku. Namun aku berusaha berbaik sangka. Mereka tidaklah seperti itu, namun aku saja yang kurang bisa bergaul dan kaku. Jadi walaupun sedih, aku tidaklah berputus asa.
Di kawasan tempat tinggal kami, ada empat buah taman. Tapi hanya satu saja yang dekat, jaraknya kira-kira lima puluh meter. Tiga yang lainnya agak jauh. Lagipula jalannya menanjak. Namun karena aku ingin anakku bisa bebas bermain dan bersosialisasi, kutempuh juga perjalanan yang jauh itu demi anakku.
Faisal sangat seneng bila kuajak ke taman. Tak puas-puasnya dia bermain. Kadang aku sudah bosan dan ingin mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tadi kutinggalkan. Tapi Faisal belum puas bermain dan dia tidak mau kuajak pulang. Terpaksa aku menunggunya sampai dia puas.
Di taman-taman yang lain, para ibu Jepang lumayan ramah. Mereka mau menyapaku dan berkenalan denganku. Aku sangat bahagia karena mereka menerimaku dengan baik. Ada seorang Ibu yang sangat ramah. Ternyata dia sudah pernah ke Bali. Jadi sudah familiar dengan Indonesia. Alhamdulillah, akhirnya aku menemukan taman yang ramah dan Faisal bisa bermain dengan nyaman. Terimakasih Tuhan.