Kehangatan Bubur Kanji

Dengan hati pilu, kuaduk-aduk bubur kanji di atas kompor.  Sebentar lagi Ramadhan akan berakhir.  Perpisahan dengan Ramadhan, berarti berpisah pula dengan bubur kanji, karena hidangan ini hanya ada di bulan suci lagi mulia ini.Kuhapus sudut mataku yang basah dengan ujung jari.  Begitu cepat Ramadhan berakhir.  Begitu cepat semua kenangan manis ini berakhir.  Semua kenikmatan-kenikmatan ini.  Rasanya baru kemarin diri ini bergembira menyambut Ramadhan. 

Ditandai dengan hari “Makmeugang”.  Yang merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Aceh.  Hari dimana setiap laki-laki, seolah-olah wajib membawa sekilo daging.  Sehari atau dua hari menjelang Ramadhan, para penjual daging menyesaki tiap penjuru kota, menanti para pembeli. Pun kantor-kantor, sibuk membagi-bagikan daging kepada para karyawannya. Makmeugang, bukan hanya monopoli kaum “papan atas”.  Tapi justru merupakan hari berbagi.  Orang-orang kaya, membagi-bagikan daging kepada orang miskin.  Agar kaum papa ini  tak hanya meneteskan air liur, menonton orang-orang kaya berpesta.  Tapi mereka juga bisa merasakan nikmatnya gulai kambing, maupun gulai sapi.

Makmeugang, atau meugang, bukan hanya momen berbagi, tapi juga momen silaturahmi.  Utamanya di pedesaan yang mana suasana semarak mulai terasa.  Berkunjung ke rumah tetangga dan family untuk bersilaturahmi maupun mengantarkan makanan.  Apalagi  jika lemang dan tape ketan juga disuguhkan untuk mengakrabkan suasana.  Wahh…

Petang berlalu dan malam pun membayang.  Masyarakat berduyun-duyun menuju ke masjid terdekat.  Menunggu shalat tarawih malam pertama, malam yang akan menjalin silaturahmi semakin erat.  Suasana syahdu meresapi kalbu.  Baluran doa-doa panjang menghiasi malam sebelum Subuh menjelang.

Masih terbayang dalam ingatan, betapa  sepinya pagi dihari pertama puasa. Mungkin sebagian masih bergelung di tempat tidur.  Melanjutkan tidur yang terputus, dan mimpi yang mengabur akibat sahur.  Jalanan kota yang biasanya padat, kini tampak lengang.  Hanya satu-dua kendaraan yang melenggang.  Warung kopi dan restoran pun mengunci pintunya rapat-rapat.  Seolah tak sudi jika ada yang makan di tepi jalan dan di tengah keramaian.Air mata kembali merembes.  Masyarakat Aceh sangat mencintai Ramadhan.  Pun sangat menghormatinya.  Di masjid-masjid, ramai orang bertadarus.  Ibu-ibu dan anak-anak pun tak mau ketinggalan.  Menghiasi masjid dengan tilawah berkepanjangan.  Khatam Al-Qur’an, itulah yang menjadi tujuan.

Ketika matahari mulai tergelincir ke ufuk Barat, keadaan berubah drastis.  Suasana yang tadinya begitu hening kini mendadak ramai.  Trotoar jalan disesaki penjual makanan berbuka atau takjil.  Calon pembeli pun tak mau kalah.  Rela mengantri demi sekantong penganan berbuka.  Ada binar bahagia di wajah para penjual takjil, kala dagangannya laku.  Pengeluaran dibulan Ramadhan memang membengkak dibandingkan bulan-bulan lain.  Adanya uang tambahan, akan sangat meringankan beban penderitaan. Rona ceria juga menghiasi wajah para pembeli.  Terbayang kenikmatan kue-kue basah,  juga segarnya minuman yang akan direguk saat berbuka puasa nanti.

Ramadhan begitu menjanjikan kesenangan, dan juga kebahagiaan.  Seperti kebahagiaanku melalui bubur kanji yang sebentar lagi akan matang.  Kebahagiaan melihat suami dan anak-anakku yang akan menyantap bubur khas Aceh ini.  Yang hangatnya mengalir dari kerongkongan, ke hati hingga ke perut.  Seperti kebahagiaanku melewati malam-malam Ramadhan, yang sebentar lagi akan berakhir.

Ramadhan Mubarak!  Semoga kita kelak berjumpa lagi.

Catatan kaki:

Bubur kanji: bubur ayam /udang dengan bumbu rempah.  Hidangan khas Aceh yang popuer di bulan puasa

Aktif menulis sejak bergabung dengan FLP Jepang tahun 2004. Penulis merupakan staf di Politeknik Indonesia Venezuela (Poliven) yang berlokasi di Cot Suruy, Aceh Besar