Gadis Berlesung Pipit

Kurang lebih seminggu yang lalu aku chatingan ama teman SMP, sebut saja Beni. Dia membuka percakapan dengan teka-teki.

“Ada dua orang duduk sebangku, yang satu matanya bulat rambutnya kepang, kalau yang satu rambut kepang, ada lesung pipitnya.”

Aku mengernyitkan dahi.

“Gue ama Tituk? Lha, Tituk kan gak ada lesung pipitnya.”

Tituk sohibku ini berambut panjang dan dikepang.

Beni cepat-cepat meralat.

“Eh salah, ada tiga yang kepang.”

Lha, malah nambah.

Siapa satu lagi.

“Tanti? Tanti kan gak dikepang. Tapi dia keriwil.”

Ternyata si Beni juga menulis komen yang rada mirip.

“Tanti gak dikepang, tapi diiket balut.”

Halah. Balut! Maksud loe?

Sebenarnya temen yang pernah duduk sebangku denganku banyak. Maklum, Bu Kaltati, wali kelas kami di I-6 selalu menukar-nukar tempat duduk. Maksudnya baik, biar kami jangan berteman dengan orang yang itu-ituuu aja. Dan entah apa tujuannya, dua meja didempetin jadi satu, sehingga bisa muat untuk lima orang. (Berarti tujuannya biar muat banyak orang dong, hehe.)

Karena aku lagi males mikir, kutembak langsung aja.

“Jadi siapa satu lagi, Ben?”

“Si cantik Lita Kartina, hihihi (malu ah).”

Hwaaa! Lita! Kenapa aku bisa lupa ya. Padahal Lita kan dulu pernah sebangku sama aku.

 Apa kabar ya dia sekarang?

Ingatanku melayang ke masa puluhan tahun silam. Antara diriku dan Lita memang punya

banyak persamaan. Sama-sama rambut sepinggang, dikepang dan sama-sama pendiam

 (apalagi kalau lagi tidur, qiqiqi)

Ngomong-ngomong, kadar kependiamanku berbeda dengan Lita. Aku pendiam terhadap orang-orang yang belum kukenal. Tapi terhadap temen deket sih, ngocol banget (harus dipancing gitu, ikan kalee). Sedangkan Lita, dia pendiamnya ke semua orang. Bahkan sama aku aja, dia tertutup. Susah payah aku memancing cerita darinya, tapi hasilnya nihil. Aku nanya satu kata, dia jawab satu kata. Selebihnya, kembali hening. Gak ada upaya untuk bertanya balik.

Misalnya,
”Lita, kamu punya kakak gak?”

“Punya.”
“Berapa?”
“Satu.”
“Kalo adek?”

“Punya.”
“Berapa?”
“Dua.”
Udah, mandeg. Gak ada usaha untuk nanya balik berapa jumlah saudaraku, dsb. Sedih kan!

Tapi kuakui Lita emang cantik. Rada mirip-mirip penyanyi dangdut Itje Trisnawati. Seneng banget ngeliat dagunya, runcing. Hidungnya juga, mancung plus runcing.

Persamaan lain denganku, Lita kalau jalan kayak lagi ngukur jalan. Menghadap ke bawah. Gak noleh-noleh. Kalau dipanggil, noleh sebentar, senyum, lalu ngelanjutin ngukur jalan lagi. Cuma Lita lebih parah. Kalo beradu pandang, dia cepet-cepet mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Pura-pura gak liat. Sedih gak seeh!

Tapi walaupun cuek, Lita selalu menyimak kalau ada hal-hal lucu di kelas. Perkataan temen-temen yang lucu-lucu dia inget semua. Jadi orang-orang seperti Dulloh (Abdullah), Njen (Zainal), Ruspi (Rusfiandi), Andri (Andri Wirawan) atau Aris (Aris Waruwu) sebenarnya mendapat perhatian khusus di hatinya. Hanya saja tidak diperlihatkan secara langsung. Dia sering ketawa cekikikan kalau ada dialog-dialog yang aneh bin ngawur di kelas.
Juga celetukan dari cewek-cewek ketua kelas, Dinda Farida atau Susilawati.
Misalnya nih, perkataan seperti,

“Woooi! Yang ribut gue timpuk pake angin ya!”

Atau,
“Yuningsih! Gue gigit bibir lu ye!”

Mendengar itu, Lita langsung senyum-senyum. Tampaknya dia menikmati sekali kelucuan-kelucuan di kelas kami. Mungkin itulah yang membuat dia cocok denganku, seneng ketawa-ketiwi. Dan bunyi tertawa kami tidaklah berderai-derai, namun mengacu kepada “hihihi”. Duh, kenapa jadi mirip-mirip kuntilanak gini yak.

Yah, supaya keliatan kompak, jadi aku menyesuaikan gaya tertawaku dengan gaya tertawa Lita. Gak lucu kan kalo yang satu “hihihi” sementara yang lain “hahaha”. Emangnya aku Rahwana!

Oya, berbicara mengenai teman sebangku. Cewek-cewek yang pernah menjadi teman sebangkuku antara lain: Tituk, Irna, Desi, Dinda, Sri Husnayati. Jadi walaupun cuma sebentar, tapi aku pernah ngerasa akrab dengan mereka (sok akrab nih). Yah, aku jadi ngerasa tujuan Bu Kaltati itu mulia banget, biar kita lebih banyak temen dan lebih kompak. Boljug tuh! Kita kan gak boleh milih-milih teman, semua teman harus kita perlakukan sama dan sederajat. Berbaur gitu deh. Heal the World (apaan lagi nih) Walaupun pada kenyataannya kita merasa lebih cocok berteman dengan beberapa orang saja. Tapi itu tidaklah menutup kemungkinan untuk berakrab-akrab ria dengan teman yang lain. Jadi selama bersahabat dengan Lita, aku juga tetap bersahabat dengan Tituk, Tanti, Prasti, Dinda, Woro dan yang lainnya. Makin banyak sahabat kan makin asik, bener gak? Makin banyak cerita, dan juga ceria. Kayak iklan aja.

Pas naik ke kelas dua, aku masih sekelas dengan Tituk dan Tanti, jadi persahabatan kami masih berlanjut. Yang sedih Prasti. “Kok gue dipisahin sih,” katanya sewot. Yaa, coba tanya ama pak Sugiyono gih Pras.

Dan Lita, terpaksa “Good bye” juga dah. Tapi yang sedihnya nih, Lita kalau ketemu aku suka pura-pura gak kenal. Lewat aja gitu. Terpaksa deh aku yang teriak-teriak penuh kehebohan,
“LITA! LITA! Sini!” Sialnya dia cuma menoleh sekilas dan berkata,”Hai!” Lalu melanjutkan perjalanannya. Gak ada inisiatif sama sekali untuk berhenti dan bercakap-cakap agak sebentar dengan diriku.

Padahal kita kan pernah deket, Lit. Sebangku gitu loh! Mengapa dirimu begitu somse, begitu sombong, seakan-akan aku tak pernah menjadi orang spesial (martabak kali) untukmu. Padahal kita pernah melewati hari bersama, cekakak-cekikik bersama. Bahagia bersama.

Tapi tak mengapalah Lita. Aku berusaha memahami, mungkin dikau malu. Itu sudah pembawaanmu yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Mungkin jauh di lubuk hatimu, kau pun rindu dengan diriku. Yah walau demikian, nun jauh di lubuk hatiku yang paling dalam aku bersyukur karena telah pernah berjumpa denganmu. Menikmati hari-hari yang indah bersamamu. Walaupun dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Lita sayang, terima kasih untuk semua cekikikannya yah.

Hope we’ll meet someday, ntah kapan.

Aktif menulis sejak bergabung dengan FLP Jepang tahun 2004. Penulis merupakan staf di Politeknik Indonesia Venezuela (Poliven) yang berlokasi di Cot Suruy, Aceh Besar