Bu Kaltati, Sahabat Sekaligus Guru

Pagi itu, aku dikejutkan oleh sebait sms duka cita dari seorang sahabat. Berdebar-debar sebelum membaca siapakah gerangan yang kali ini dipanggil menghadapNya? Dan tatkala aku membaca namanya…ibu Kaltati, oh Ibu, tenggorokanku seperti tercekat. Seakan tak percaya pada berita itu, serasa tak ingin menerima kenyataan pahit itu. Tapi ah, apalah dayaku. Untuk sejenak aku tak dapat mengerjakan apa pun, dicekam oleh kesedihan yang teramat dalam. Namun aku berusaha menguasai diriku, berusaha, dan terus berusaha, memahami, bahwa ini sudah kehendakNya, dan siapa pun tak dapat mengelak mau pun menolaknya.

Ah Ibu, betapa aku sangat menyayangimu, betapa aku bahagia karena engkau telah sempat menjadi bagian dari hari-hariku. Saat itu aku masih seorang bocah berusia dua belas tahun, penuh keluguan, penuh kepolosan. Engkaulah yang selalu memompakan semangat kepada kami, agar tetap mengejar ilmu, sampai kemana pun. Juga agar tidak membuang-buang waktu. Waktu adalah pedang, demikian pepatah Arab yang kau sitir saat itu.

Engkau juga yang meniupkan kata-kata “Iqra`” ke dalam telingaku. Agar aku bersemangat meneliti, dan mengamati alam semesta ini. Walaupun aku sekarang tidak bekerja di luar rumah, tidak jadi dosen, guru, atau peneliti. Namun semangat itu, masih tetap kujaga sampai kini. Aku berusaha untuk “membaca” tanda-tanda alam ini, kehidupan ini.

Kuingat, engkaulah yang mengenalkan FAJAR kepadaku, suatu organisasi keislaman. Di FAJAR, aku menemukan banyak hal, selain ilmu agama yang bertambah pesat, juga kecintaanku terhadap ilmu dan eksperimen. Karena FAJAR juga memiliki divisi pendidikan, yang membidangi penelitian dan sejenisnya.

Engkau sering menceritakan kisah-kisah heroik pada murid-muridmu. Kami begitu terkesima mendengar cerita-ceritamu, tak hanya dari negeri sendiri, bahkan dari luar negeri. Begitu bersemangatnya engkau bercerita, sehingga kami tak sadar, kami juga ingin meniru jejak mereka yang kau ceritakan itu.

Ketika hari Kartini tiba, disaat orang lain mengenakan kebaya dengan anggun, engkau berani tampil beda. Dengan tunik panjang dan celana panjang, tak lupa secarik ikat kepala, engkau bergaya laksana seorang pendekar wanita. Aku, dan teman-temanku, sangat tahu bahwa engkau ahli bela diri. Wejanganmu, wanita harus kuat, wanita harus tegar. Jangan mau kalah oleh keadaan.
Wejangan itu pula yang menancapkan tekad di hatiku untuk ikut berlatih pencak silat, meskipun putus di tengah jalan. Tapi amanatmu untuk bersikap tegar, masih kuingat sampai kini.

Terimakasih Ibu. Terimakasih atas segala jasa-jasamu, atas letih lelahmu dalam membimbing kami. Semoga itu semua, dapat memperberat timbangan amal kebaikanmu di akhirat kelak. Amin.
Ya Allah, ampunilah segala dosanya, terimalah segala amal ibadahnya, lapangkanlah kuburnya, dan berilah dia tempat yang indah di sisiMu.
Amin ya robbal `aalamiin.

Ibu Kaltati, Sakura Bagi Kami

Sakura, kini mekar dengan bangga
Seolah tahu bahwa dirinya hanya hidup sesaat
Dan ditakdirkan untuk berguguran

Selamat jalan Ibu Kaltati
Kini waktunya untuk berpisah
Perasaan itu tak akan berubah

Sakura, engkau t’lah gugur secara bermartabat
Namun kau selalu mekar
Terpatri indah
Jauh di lubuk hatiku

Banda Aceh, 30 Maret 2010 Dengan segenap rasa dukacita yang mendalam dari murid-murid yang menyayangimu, Ibu. Engkau sudah menjadi Ibu bagi kami, Ibu yang selalu mendengar keluh kesah anak-anakmu.
Jazakallaahu khaira atas segala kebaikanmu, Ibu Kaltati

Aktif menulis sejak bergabung dengan FLP Jepang tahun 2004. Penulis merupakan staf di Politeknik Indonesia Venezuela (Poliven) yang berlokasi di Cot Suruy, Aceh Besar